"Tunggu!" serunya. "Nama saya, Tiara. Nama kamu?"
"Devan. Devan Rafandra."
◾◾◾
Buktinya, Devan masih berada di dalam mobil. Alasannya simpel, ia tidak mau ke sana sebelum hari benar-benar gelap. Bahkan di dalam mobil, ia ketiduran. Kekesalannya malah membawanya ke alam bawah sadar.
Sekarang sudah pukul 20.45. Wow, Devan tertidur cukup lama.
"Gue belum maghriban," katanya polos. Dia baru saja bangun tidur, dan itulah kalimat awalan yang keluar dari mulutnya setelah tertidur selama kurang lebih dua jam.
Mengacak-acak rambutnya, Devan mulai merasakan pegal di sekujur tubuhnya. Mungkin posisi tidurnya yang tidak membuatnya nyaman—tidur sambil duduk di kursi mobil dan kepala yang ditelungkupkan ke lipatan tangannya yang berada di atas setir mobil.
Walaupun mood-nya sudah bisa dibilang cukup baik, tetap saja Devan tidak mengubah niat awalnya untuk bermain-main di klub. Selama hidup, Devan belum pernah merasakannya. Katanya, sih, enak.
Devan bingung tentang dirinya yang sebenarnya laki-laki baik, atau malah sebaliknya?
Tidak lama, Devan pun turun dari mobilnya. Bersamaan dengan itu sebuah mobil masuk dalam kawasan ini. Mobil yang tidak asing. Devan pernah melihat mobil itu terparkir di parkiran SMA Nada.
Ah, Devan tidak peduli.
Dengan langkah berat Devan masuk ke dalam klub setelah sebelumnya ia membayar tiket masuk. Sebenarnya Devan sedikit menyogok karena ia masih di bawah umur dan tidak memiliki ID card.
Hentaman musik cepat dan keras serta hingar bingar pesta malam menyambutnya kala ia menginjakkan kaki ke dalam klub, membuat kepala Devan pening seketika. Apalagi laki-laki itu yang tidak suka keramaian karena menurutnya, bisa membuatnya sesak napas.
Namun, entah mengapa, Devan merasa kalau di sini, ia bebas.
Dunia malam, dunia gemerlap, dunia kebebasan.
Laki-laki itu lebih memilih untuk menuju ke meja bar, memesan minuman alkohol. Tentang alkohol, Devan jadi ingat peristiwa tujuh tahun yang lalu. Dimana papanya pulang bekerja dengan membawa satu tas lumayan besar yang isinya hanya minuman beralkohol. Kira-kira terdiri dari beberapa merek bir, lalu ada wine, whiskey, dan sebotol vodka.
Devan yang terbilang masih polos bertanya, "Itu apa, Pa?"
"Minuman," beliau tersenyum tipis. "Kamu jangan berani-berani minum kalau enggak mau ketagihan. Dan Papa saranin, kalau mau minum untuk pertama kali, pilihnya wine aja. Menurut Papa, itu yang paling enak."
"Wine," pesan Devan pada seorang bartender.
"Mau yang mana?" tanya bartender balik pada Devan seraya menunjuk beberapa botol wine.
Devan dengan angkuh mengangkat bahunya. "Terserah. Yang menurut lo paling enak aja."
Sempat orang itu menampakkan raut wajah bingung, namun Devan tidak peduli. Dan... malam kelam Devan pun dimulai.
◾◾◾
Rissa sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di kamar tidurnya, membuat Bunda yang baru saja masuk ke kamar Rissa ikut bingung setengah keki. Hati Rissa lagi-lagi gelisah dan khawatir ketika tahu Devan menghilang begitu saja tanpa kabar.
Dafa, Mbok Ijah—Rissa tidak bisa menanyakan hal itu pada kedua orang tua Devan karena mereka sedang sibuk bekerja—tidak ada yang tahu keberadaan laki-laki itu. Harusnya memang tadi sore Devan ikut menugas bersamanya dan juga Febrian. Rissa sebelumnya juga sudah memberi tahu ke Devan. Apa Devan lupa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...