Involved [17] - Mengenang Memori

3.4K 230 36
                                    

Rissa geli, tentu.

Beberapa detik tadi saat di pameran, mereka bertiga termasuk dirinya tiba-tiba canggung, saling diam, saling mengamati, dan untungnya saja, dua sejoli—Samuel dan Nial—menolong mereka bertiga dengan pertanyaan konyolnya; "Lo tau 'kan detik-detik sinetron mau bersambung?" tanya Samuel dengan ragu-ragu, mukanya saat itu benar-benar kelihatan sinting. Kemudian dilanjutkan dengan Nial, "Omong-omong, sejak kapan kalian jago ekting?" nadanya begitu klasik.

Rissa tanpa bersalah tertawa kecil. Sementara Febrian maupun Devan saling membuang muka, dan mereka salah tingkah. Kompak? Memang. Seketika mereka kompak yang membuat Rissa semakin geli, apalagi Samuel. Laki-laki itu sudah terpingkal-pingkal.

Kalau Nial... masih kalem saja. Entahlah, kepribadian laki-laki itu yang memang kalem atau ia sedang malas tertawa.

"Kok tadi bisa gitu ya, Dev?" tanya Rissa mencairkan suasana ketika ia dan Devan sedang perjalanan pulang.

Devan menoleh sekilas sembari terkekeh kecil, sebenarnya itu kekehan yang mengandung paksaan. "Gak ngerti gue, Cha."

Rissa tersenyum tapi tidak lama kemudian senyuman itu memudar terganti oleh raut wajah khawatir. "Lo gak enakan ya?" tangan Rissa spontan meremas lengan Devan. "Dev?"

"Enggak," ketus Devan dengan menepis lembut tangan Rissa. "Mungkin karena laper. Gimana kalo kita makan dulu? Udah jam makan malem."

Rissa sebenarnya tidak percaya. Perasaannya tiba-tiba tidak enak, ditambah saat Devan menolehkan wajahnya, pucat seperti biasa.

Ya, selama ini Rissa memang mencoba percaya, mencoba untuk menjaga kengingintahuannya agar ia tidak selalu bertanya pada Devan apa yang sebenarnya terjadi dengannya, karena percuma juga dengan adanya balasan Devan yang selalu mengandung unsur ia tidak kenapa-kenapa. Selalu mencoba berpikir positif tentang apapun yang menyangkut dengan Devan.

"Oke," Rissa menyandarkan punggungnya dengan diakhiri desahan panjang, "Makan di mana, Dev?"

"Lo maunya apa?"

Rissa menyipitkan matanya, sejurus kemudian ia menatap Devan yang sedang fokus ke arah jalanan itu lekat-lekat. Akhir-akhir ini, seperti bukan Devan. Entah sejak kapan tidak tahu. "Terserah? Gue ikut lo, kok."

"Emang ada warung makan 'terserah'?"

"Nanti kapan-kapan gue buka warung yang namanya terserah, deh," polos Rissa.

Devan malah terkekeh, mobilnya kini berbelok, menuju ke jalan yang menurut Rissa asing. "Serius," ujar Devan gemas. "Hmm... gimana kalo nasi padang?"

Mata Rissa dalam kegelapan berbinar, "Ide yang bagus. Ya udah padang aja."

"Oke," tangan Devan menepuk puncak kepala Rissa beberapa kali.

Tidak membutuhkan lima menit, mobil itu berhenti di depan rumah makan padang. Sebelum Devan turun, ia melepas sabuk pengamannya sekaligus sabuk pengamannya Rissa. Ia turun mendahului Rissa agar bisa membukakan pintu mobil untuk perempuan itu.

"Berasa princess kalo dibukain pintunya," ceplos Rissa tanpa sadar. Melihat Devan yang terkikik ia menutup mulutnya. "Eh, salah ya?"

"Ya udah aku pangerannya." Devan tersenyum menggoda. "Jadi sekarang kita prince sama princess."

Tangan Rissa memukul pelan lengan Devan, "Dasar!"

Sejurus kemudian, mereka masuk ke rumah makan dan mencari tempat duduk. Sigap mereka memesan makanan karena kebetulan keduanya saling lapar.

◾◾◾

"Anjir, kok gue deg-degan ya?"

Samuel tersenyum miring, "Emang mau nembak doi?"

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang