Involved [22] - Proyeksi

3.2K 253 8
                                    


"Kalian ngapain?" Febrian melongo. "Bolos kuliah?"

Kedua orang di depannya tidak menjawab, membuat Febrian semakin curiga. "Satu koper, dua orang. Koper lumayan gede," lebih menyelidik lagi, "baju perempuan laki-laki yang bukan saudara, belum kawin, tapi udah jadi satu. Itu artinya, kalian liat-liatan pakaian dalam?"

"Terus kenapa kalo gue sama Fera liat-liatan?" dongkol Raka, tunangan kakak kandung Febrian. Ya, mereka berdua yang tak lain dan tak bukan adalah Fera dan Raka.

Betapa mengejutkannya.

Fera menyenggol Raka, "Apaan sih!"

"Hahahaha, kali-kali setuju kek sama omonganku, Fer," tukasnya. Raka buru-buru menyadari kalimat pertanyaan Febrian yang pertama. Tawanya pun berhenti sekejap. "Tadi kata lo, kita bolos kuliah?"

Febrian awalnya hanya menggangguk-angguk acuh tak acuh. Namun melihat perubahan raut wajah Raka, oh dan bahkan Fera—perempuan itu sudah menyipit tidak setuju—Febrian menjawabnya, "Gue bener 'kan? Lagian, mana ada kuliah semester satu ambil cuti gini. Yang ada kalian bolos!"

"Gue sama Raka cuma mau liburan di Bandung!"

Raka menambahi, "Sebenernya emang sih, Yan, gue sama Fera bolos kuliah," kalimatnya membuat Fera lagi-lagi meyenggol lengan Raka, sementara Febrian melotot. "Tapi cuma empat hari! Ya kan, Fer?"

"Kok malah mbocorin, sih?" ketus Fera. Pandangannya lebih menajam ke Raka. "Kita udah perjanjian gak ngasih tau! Ah, aseman kamu."

"Udah-udah!" lerai Febrian. Ia mendekapkan tangannya. "Kalo kalian bolos—"

"Itu urusan gue sama Raka, dan sekarang," kata Fera angkuh, mulai bersiap dengan kopernya. "Kasih kita jalan masuk. Gue mau ketemu Oma, Brian."

Febrian mendengus seraya menggeserkan tubuhnya. "Bolos aja kerjanya, mana pake pacaran lagi," ejek Febrian ketika mereka mulai masuk ke dalam rumah. "Masa depan suram, tuh!"

Tapi tiba-tiba, Raka berbalik badan. "Asal lo tau, Yan, orang kaya susah mlaratnya. Gue sama Fera masih di antara tujuh turunan nenek moyang—"

"Songong. Roda itu berputar," kekinya. Febrian menutup pintu rumahnya. "Sejak kapan sih, Bang, lo jadi banyak omong gini?"

Sarkas.

Raut wajah Raka berubah drastis. "Sial!"

◾◾◾

"Masih banyak tugas?" tanya Raka seraya menekan-nekan ponselnya.

"Lumayan," balas Febrian. "Tapi enggak sebanyak minggu lalu."

Raka menolehkan kepalanya, memandang laki-laki yang duduk di sebelahnya yang dibatasi oleh meja. "Masalah hati, masih banyak tugasnya enggak?"

Eh?

Febrian ikut menolehkan kepalanya. Kini kedua dahi mereka saling berkerut, heran. "Masalah hati?" konfirmasinya.

Terlihat kalau Raka mematikan layar ponselnya, kemudian meletakkannya di meja. "Febby?"

"Apaan, sih?" kesal Febrian pada akhirnya. "Lo enggak berusaha buat mengintrogasi soal gue sama Febby 'kan?"

Raka terkekeh sambil menggeleng. "Tenang aja."

Febrian mengembuskan napas legas. Ototnya yang sempat menegang kini rileks lagi bersamaan dengan embusan napas lega itu.

Kini, Raka dan Febrian sedang mengobrol di balkon kamar Febrian. Mereka yang seperti ini juga terjadi secara spontan.

"Bang," panggil Febrian karena hening melanda. Raka hanya menjawabnya dengan bergumam, laki-laki itu sedang sibuk melamun. "Mustahil gak, sih, ndapetin perempuan yang udah punya sahabat laki-laki dari kecil?"

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang