"Icha!"
Perempuan yang merasa namanya terpanggil—panggilan khusus untuk orang-orang terdekatnya—segera menolehkan kepalanya. "Kenapa?"
"Coba lo tutup mata."
Sontak dahi Rissa berkerut, "Mau apa?
Seorang laki-laki di depannya terkekeh kecil, lalu menepuk jidat Rissa pelan. Sebelum ia berbicara lagi, ia menarik napas dalam-dalam. "Tutup mata aja, entar lo hitung satu sampe sepuluh. Tau?"
"Oh, petak umpet?" Rissa menyipitkan mata. "Tinggal bilang mau main petak umpet emang gak bisa?"
"Ya suka-suka gue—"
"Kenapa gue yang jadi?"
"Karena gue ingin tau, ketika mata lo ditutup, otomatis semua bakal gelap; apa nanti segelap itu ketika enggak ada gue?" Devan, nama laki-laki itu tersenyum. Kalimatnya memang terlihat seolah ia berkata dengan senyum yang tulus, namun kenyataannya tidak. Ia justru tersenyum miring, entah mengapa begitu.
Rissa mendecak, "Oke, coba ya?"
Devan menggangguk.
Rissa menutup matanya dan mulai berhitung.
Di saat itulah Devannya pergi.
"... sembilan... sepuluh... Dev? Gue bakal nyari lo!" Rissa berteriak semangat, kakinya yang mungil mulai berjalan mencari seseorang yang sudah menjadi partnernya dari kecil. Sahabat, lebih tepatnya itu.
Lima menit lewat, Rissa tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Devan. Di rumah pohon tidak ada, di belakang pohon mangga besar tempat rumah pohon tidak ada, di semak-semak pun tidak ada. Dadanya mulai bergemuruh akibat detak jantung yang sudah tidak stabil.
"Apa nanti segelap itu ketika enggak ada gue?"
Kalimat sesederhana itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Hanya sebuah kalimat yang terdengar sangat sepele. Apa mungkin Devan sungguh pergi?
Rissa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dev? Lo di mana, sih?"
Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga tak tersadar sudah setengah jam ia mencarinya. "Devan?! Keluar Dev! Gak lucu!"
Emosi mulai menyeruak di dalam dirinya. Oh, atau mungkin Devan tadi meninggalkannya pulang? Pulang ke rumah?
Ah benar! Mungkin itu yang sebenarnya. Lalu, mengapa Rissa tadi sangat takut?
Perempuan dengan segala kepolosannya itu akhirnya duduk di tengah-tengah lapangan basket karena terlalu lelah. Napasnya tersengal-sengal tidak karuan. Dan di saat itulah ia menyadari; gelap, Dev, enggak ada kamu kayak segelap aku mejamin mata.
Seketika pandangannya memburam. Ia lalu mengedipkanmatanya berkali-kali. Bukan pandangannya yang semakin jernih, justru kian memburam.
Tidak lama, semua berubah menjadi gelap.
◾◾◾
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...