Involved [15] - Kejutan Kecil

3.3K 278 24
                                    

Devan sulit untuk menenangkan gemuruh di hatinya lagi sejak saat itu. Bagaimanapun ia berusaha terlihat normal dengan tersenyum, nada bicara yang tidak berlebihan, bertingkah seperti biasa... segalanya sudah tidak lagi sama. Keesokannya, ia dan Rissa masih saling menjaga jarak. Mereka tidak sebangku lagi yang menimbulkan berbagai pertanyaan untuk Tirta, Fay, ataupun teman-teman terdekat mereka.

Di dalam kelas pun mereka tidak saling bersapa atau bertukar senyuman. Ketika berpapasan terutama, mereka lebih memilih untuk saling tidak mengacuhkan dan akhirnya hanya punggung mereka yang saling bertatapan, itu saja saling menjauh.

"Masih berantem?" Tirta menepuk pundak Devan ketika laki-laki itu baru saja bangkit untuk pulang.

"Dia minta sendiri dulu," Devan mendesah berat, "Ya, gue harus gimana lagi? Biarin aja lah."

Nada keputusasaan. Tirta mengangguk mengerti. Baru saja ia mau menaggapi kalimat Devan, laki-laki itu sudah keburu keluar kelas dengan langkah gontainya.

Lalu Tirta menoleh, mendapati Rissa yang sedang duduk ditemani Fay. Fay yang cerewet terus menghibur Rissa, namun Rissa tetap saja diam—memandangi Devan yang tadi keluar kelas.

Di sisi lain, Rissa kesal. Ia ingin sendiri, namun si Fay begitu serius untuk menghiburnya.

"Fay, gue enggak apa-apa," Rissa mengambil tasnya lalu berdiri.

"Eh, Sa," Fay menautkan kedua alisnya, "Kalo Devan pulang duluan, lo pulang naik apa?"

Rissa menyengir, "Hehehe," kekehnya hambar. "Gue jalan kaki, kayak kemarin sama tadi pagi."

"Gimana kalo gue anterin? Ayolah."

Rissa mengangkat kedua bahunya sekilas lalu mengangguk. Tidak apalah selagi ada tumpangan gratis.

Akhirnya mereka berdua keluar kelas.

Fay berjalan riang keluar kelas. Saat melewati Tirta—laki-laki itu masih saja di posisi awalnya—perempuan itu ber-highfive yang ditanggapi Tirta dengan gelengan geli. Rissa sendiri sama seperti Devan, lesu dan gontai.

Menit berlalu. Hingga kini mobil yang Rissa tumpangi melaju. Saat di parkiran tadi, ia masih melihat mobil milik Devan terparkir di sebelah mobil mini cooper yang setahu Rissa itu milik Samuel. Kalau begitu, berarti Devan belum pulang.

Lalu, ke mana si laki-laki itu?

Mau diapakan juga, intinya Rissa masih peduli dengan Devan. Bagaimanapun situasinya.

◾◾◾

Masih mengenakan seragam putih abu-abunya dengan kemeja putih yang seutuhnya sudah keluar dari celananya dan tas ransel yang ia gendong, Devan membanting bola basketnya kasar. Pelarian.

Laki-laki itu akhir-akhir ini memang suka melampiaskan emosinya pada apa saja. Bahkan bibir perempuan itu sampai jadi korbannya.

Masih agak ramai sebenarnya. Tetapi Devan tidak peduli. Terserah orang lain mau mengatakan dirinya apa. Lapangan basket juga sedikit ramai. Mungkin karena sebentar lagi akan dibuka jadwal klub basket.

Devan membolos. Membolos klub, tidak peduli kalau ujungnya ia bisa dikeluarkan dari tim inti.

"Ck," decaknya yang disusul dengan senyuman sinis dengan mencoba memasukkan bola basketnya ke ring. Masuk. "Basket mah, kecil."

"Keparat lo emang," Samuel langsung merebut bola basket yang tadi berada di tangan Devan. Entah sejak kapan laki-laki itu berada di dekat Devan. Tapi, namanya saja Samuel. Suka datang di saat yang tidak terduga.

Devan mendecih. Bergegas ia meninggalkan lapangan basket, malas beradu mulut dengan Samuel. Kalau boleh jujur, ia lebih nyaman berada di dekat Tirta.

"Makan tuh bolos!" teriak Samuel membahana yang membuat beberapa pasang mata menatapnya. Seperti biasa kalau Samuel tidak peduli, ia malah bergaya sok dramatis.

"Bacot!" balas Devan geram.

Sebelum Devan benar-benar menuju ke arah parkiran, ia menuju mading. Masih heran mengapa Rissa sebegitu menyukai tentang baca-membaca.

"Oh, pameran, berita udah lama tapi belum dilaksanain juga," kata Devan pelan. "Salah satu panitianya Tirta, jelas. Penyelenggara smada. Hebat juga ini sekolah. Febrian?"

Devan membaca lebih antusias lagi. Pameran diadakan besok, bukan hari pekan anehnya. Acara dimulai dari pukul 16.00-22.00 dan berlangsung di Gedung Serbaguna.

Tadinya Devan tidak tertarik. Sangat tidak tertarik malah, padahal saat itu Rissa sudah menceritakan sekaligus mengajaknya. Namun tiba-tiba setelah membaca informasinya sendiri, ia menjadi tertarik karena ada satu nama. Satu nama yang membuatnya akhir-akhir ini menjadi lebih tersaingi.

◾◾◾

Devan mematung. Sementara perempuan yang berada di dapur itu malah terkekeh.

"Lo kok di sini?" tanya Devan heran seraya mendudukkan tubuhnya di kursi meja bar. Ranselnya sudah ia lempar ke sofa. Tadinya mau langsung naik ke atas untuk ke kamarnya, namun melihat pemandangan di dapur lebih menarik ia mengurungkan niatnya itu. Bahkan rela tidak mengganti seragamnya demi menikmati hal ini.

Rissa membawa dua gelas susu cokelat dan meletakkannya di meja bar.

"Kata Mama, kamu harus dibiasain minum susu," Rissa lalu duduk berhadapan dengan Devan. "Diminum ya," katanya gemas, tangannya kini sudah mencubit pipi Devan.

Devan mau tidak mau terkekeh. Kemudian meneguk susunya. "Hmm," gumamnya setelah meneguk susu itu hingga kini tersisa sedikit. "Apa yang membuat lo bisa berpikiran untuk ke sini?"

"Setelah gue pikir-pikir," raut wajah Rissa yang tadinya terlihat cerita sekarang memudar, "Kita yang tadi sama kemarin itu bukan Devan Icha banget. Soal insiden waktu itu, udahlah. Anggap aja itu sebagai first kiss sahabat."

Devan melengos. Gitu ya, Cha?

"Oke," Devan mencoba seceria mungkin. "Hari ini temenin gue main billiard mau enggak?"

Tanpa jawaban dulu, perempuan itu tiba-tiba berdiri. Rissa tetap saja Rissa.

"Gak masalah," Rissa meneguk susunya dulu, "Ayo."

Devan pun bangkit, "Eh Cha," panggilnya yang membuat Rissa bergumam, "Tapi sebelum itu, gue mau nanya sesuatu."

"Besok ada pameran 'kan?" lanjut Devan, Rissa menanggapi dengan cukup mengangguk. "Besok mau ke pameran bareng gue sekalian enggak?"

Rissa terkekeh, "Pas itu katanya gak tertarik. Tapi sekarang malah ngajak."

Devan ikut terkekeh. "Jadi?"

"Mau dong, Rafa sayang."

Eh?

"Lo ngeselin emang, Cha."

"Hahahaha," Rissa langsung saja ke luar kawasan dapur disusul dengan Devan, lalu berteriak, "Mama! Devan sama Icha mau main dulu!"

Devan pun menambahkan, "Assalamualaikum!"

Terdengar balasan dari dalam kamar, "Jangan sampe kalian pulang entar bawa cucu buat Mama!"

Devan maupun Rissa berpandangan. Lalu tertawa keras.

Akhirnya mereka yang seperti biasa kembali.

Devan tidak menyadari satu hal; ia masih mengenakan seragamnya.

◾◾◾

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang