Terik matahari membuat banyak peluh menetes di dahinya. Walaupun jarak sekolah menengah atasnya agak jauh, laki-laki itu tetap bersikeras untuk berjalan kaki. Baginya, panas sang mentari tidak mengganggu aktivitasnya bahkan di saat panas-panasnya begini.
Sejuta keceriaan nampak pada mimik anak laki-laki yang sedang berjalan itu. Memang sudah menjadi wataknya kalau ia tergolong anak yang ceria dan hangat. Di sekolahnya juga tidak sedikit perempuan-perempuan yang menaksirnya karena wataknya itu.
Selain ia yang ramah pada siapapun, ia juga mempunyai wajah di atas rata-rata, yang padahal orangtuanya biasa saja dan bukanlah orang yang memiliki banyak uang; bukan atasan, bahkan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga. Hidupnya bisa dibilang pas-pasan dengan ayahnya yang bekerja di perusahaan milik keluarga Fernando—seorang pengusaha sukses yang berada di Jakarta.
Yah, soal itu, tidak menjadikannya minder ataupun merasa kurang. Ia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya saat ini. Belum tentu anak-anak dari orang kaya bisa merasakan kebahagiaan tak terbatas seperti dirinya, keluarga yang lengkap dan selalu memperhatikan keadaannya.
Kini ia sudah berada di depan pintu masuk rumahnya. Cukup mengetuk dua kali, pintu dibukakan oleh adik perempuannya yang berselisih lima tahun darinya.
"Assalamualaikum," sapanya hangat, bukan panas seperti cuaca saat ini.
"Waalaikum salam," balas Rissa—adik perempuannya. "Bang, tadi Icha dapet nilai tertinggi di kelas, lho!"
Rian—nama laki-laki itu—terkekeh mendengar kalimat semangat adiknya itu. "Kata siapa cuma Icha? Abang malah bisa pararel satu dari kelas jurusan mipa."
Rissa cemberut. "Masuk dulu yuk! Icha mau cerita banyak, nih!" Rissa menarik lengan abangnya itu setelah sebelumnya ia menutup pintu rumahnya.
Rian meletakkan tas ranselnya di atas sofa yang sudah diduduki Rissa. Bocah perempuan itu memang tidak jarang menuntut kakaknya untuk mendengarkan ceritanya.
"Kamu mau cerita apa?" tanya Rian yang dilanjut dengan tarikan napas panjangnya.
Rissa menyengir sebelum menjawab, "Tadi Devan hampir aja ngalahin nilainya Icha tau Bang!"
"Terus? Kok bisa gitu?"
"Tadi waktu hampir selesai ulangan, Devan mbisikin Icha sesuatu," antusiasnya yang sukses membuat dahi Rian berkerut bingung.
"Bisikin apa?" Rian menjeda sebentar. "Emang berpengaruh ya sama nilainya?"
Tentu saja Rissa mengangguk. Mata polosnya bersinar terang, sekejap hati Rian hangat. "Kata Devan, kamu mau enggak dapet nilai tinggi? Sebelum Icha jawab, Devan udah ngelanjutin lagi; kalo kamu mau, aku salah-salahin jawabannya nanti, gitu," cerocosnya.
Rian terkekeh. "Devan baik ya kalau sama Icha?"
Lagi-lagi Rissa mengangguk, "Baik banget Bang, serius! Bahkan waktu Icha lupa ngerjain pr, Devan mau ngasih prnya ke Icha."
"Kamu jangan sering ngerepotin Devan ya," Rian mengusap puncak kepala Rissa penuh sayang. "Abang sebenernya udah tau kalau dia baik sama kamu, 'kan kalian temenan dari kecil."
"Ih, Abang!" Rissa memeluk abangnya dari samping. "Bukan Icha sama Devan doang kok yang temenan dari kecil. Kita bertiga tau, Bang! Abang kan juga sukanya ikutan main sama Icha-Devan. Padahal udah gede."
Belum sempat Rian menjawab pertanyaan dari Rissa, bel pintu rumahnya berbunyi. Keduanya pun spontan berdiri untuk membukakan pintunya, tapi si Rissa menghalangi Rian agar tidak membukakan pintunya.
"Icha aja, Bang," Rissa tersenyum. "Abang ganti baju aja. Sekalian nemuin Bunda sama Ayah di dapur."
Rian pun mengangguk. Bersamaan dengan melenggangnya Rian, Rissa pun mendekati ke arah pintu. Setelah mendengar bel berbunyi tadi, ia sudah menduga-duga kalau sosok yang berada di luar pintu rumahnya itu adalah orang yang habis dibahasnya tadi dengan Rian karena pulang sekolah tadi, ia dan Devan berencana untuk bermain bersama seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...