Laki-laki itu bertumpu dagu. Masih ada sekitar satu jam lagi untuk pergantian waktu istirahat. Guru yang sedang mengajar di kelasnya—diperkirakan berumur tiga puluhan—membuatnya hanya bisa menatap jengah.
Tidak habis pikir. Awal masuk, bukannya perkenalan, malah langsung masuk ke pembelajaran materi. Terlebihnya, ini pelajaran matematika. Papan tulis besar yang tadinya kosong saja, kini telah penuh terisi angka-angka dan beberapa rumus yang telah diajarkan.
Mungkin sebagian siswa di kelas ini ada yang paham, dan sebagiannya lagi tidak, namun tetap untuk memperhatikan—setidaknya 'kan menghagai. Sebenarnya, sedikit dimaklumi kalau belum semua anak memahami materi karena mereka juga belum mempunyai pegangan atau pinjaman buku cetak dari sekolah. Ditambah, ini pertama kalinya mereka merasakan kegiatan belajar mengajar di SMA Nada.
Devan menepis sendiri tangan yang menumpu dagunya. Lalu sedikit memutar kepalanya agar bisa melihat perempuan di sebelahnya. Perempuan yang menjadi teman sebangkunya hari ini, dan mungkin sampai kenaikan kelas nanti.
"Cha...," bisik Devan.
Rissa menatap Devan. "Kenapa?"
Devan menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. Ia mengecek jam yang bertengger di tangan kirinya. "Ngantin, yuk?"
Rissa terpaksa menghentikan aktivitas menulisnya ketika mendengar pertanyaan sekaligus ajakan konyol dari Devan.
"Iya ngantin, tapi pas istirahat," Rissa menatap Devan jenaka. Ia tahu kalau Devan ingin membolos karena pelajaran ini adalah pelajaran yang dari dulu tidak Devan sukai. Gerak-gerik Devan yang Rissa perhatikan diam-diam, membuat Rissa tahu kalau cowok itu memang tidak betah berlama-lama dalam suasana kelas seperti ini. "Sabar... beberapa menit lagi, kok."
Devan mendecak. Hatinya memberontak. "Beberapa menit lagi, lo bilang?" katanya dengan kesal namun tetap berbisik. "Satu jam, Cha! Satu jam!"
Menanggapinya, Rissa malah terkekeh. Lalu buru-buru menambahkan, "Risiko sekolah di Nada, Dev. Lagian... kalau ke kantin, mau ketahuan guru piket?"
Devan mencibir. Memang benar kata Rissa kalau SMA Nada seketat itu.
Dan setelahnya, Devan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia mencoba mengikuti Rissa dengan menulis rumus yang ada di papan tulis untuk menghilangkan rasa jenuh. Siapa tahu memang bisa. Namun tidak lama kemudian, ia kembali menumpu dagunya sambil menghitung berapa waktu lagi untuk pergantian jam istirahat.
Kendati berikutnya, ia lebih memilih untuk diam sambil menatapi Rissa. Jauh lebih baik dari sebelumnya. Mengapa tidak dari awal saja ia seperti ini?
Benar-benar solusi yang terbaik.
◾◾◾
"Yan, lo bawa kamera gak?"
Febrian mengembuskan napas malas. Laki-laki yang duduk sebangku dengannya tidak bisa diam. Ada saja kesibukkan yang dikerjakan, dan tentunya sangat mengganggu Febrian. Ah, jangan sampai Febrian menyesal telah memilih teman sebangku seperti laki-laki itu, Samuel.
"Kalo gue bawa atau enggak, urusannya sama lo?"
"Santai dong bro," Samuel meletakkan penanya. "Istirahat gue pinjem. Penting."
"Penting?" Febrian menautkan kedua alisnya.
Samuel nyengir. Cengiran yang membuat Febrian ingin buru-buru menaboknya. "Iye. Gue mau latihan motret, siapa tau bisa masuk klub fotografi."
"Bukannya lo ikut basket?"
"Emang. Lo percaya?" Dan ketika itulah Samuel sadar kalau Febrian tidak juga menjawab iya atau tidak. Ah, persetan. "Boleh enggak nyet?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...