Rissa mengeluarkan sepedanya dengan susah payah yang masih berada di dalam garasi. Baru garasi, karena di depannya masih ada gerbang rumahnya yang belum terbuka.
Hari pertama mos. Baju yang ia kenakan masih biru putih dan peralatan di dalam tasnya yang berisi name tag, juga beberapa kebutuhan lainnya yang diperintah oleh kakak senior osis.
Suara motor di luar gerbang membuat Rissa buru-buru menstandarkan sepedanya dan berlari kecil mengarah ke depan untuk membuka gerbang rumahnya. Sepagi ini ada yang datang ke rumahnya?
Ia terkesiap ketika melihat Devan sudah duduk di atas mogenya. Oh, jangan lupakan helm full face yang menutupi kepalanya.
"Enggak pake sepeda?" tanya Rissa bingung. Jarang sekali Devan menggunakan motor ketika akan berangkat sekolah. Selama ini, mereka berangkat bersama ke sekolah menggunakan sepeda. Ah, itu juga faktor mereka masih smp yang belum dibolehkan untuk membawa motor.
"Mbonceng gue aja," tampik Devan seraya melepaskan helmnya. "Kita udah sma, Cha. Masa mau pake sepeda?"
Rissa terkekeh. "Iya, terus kenapa? Gue tetep pake sepeda ajalah, Dev."
Mendengar balasan keras kepala dari Rissa, Devan turun dari motornya dan tanpa izin ia memasuki gerbang untuk mengambil sepeda Rissa. Rissa sendiri yang melihat Devan seperti itu langsung mengejarnya.
"Lo ngapain?" tanya Rissa.
"Nurut sama gue." Devan langsung mengambil alih sepeda Rissa untuk memasukannya kembali ke dalam garasi. Ia merasakan kalau Rissa membuntutinya dan tahu bagaimana raut wajah perempuan itu. Namun saat ia sudah menstandarkan sepeda Rissa, seperti tak ada tanda-tanda lagi keberadaan perempuan itu di belakangnya. Dan benar saja, Rissa sudah tidak ada di belakangnya ketika Devan membalikkan badan.
Bisa menghilang dengan cepat begitu ya?
Lalu laki-laki itu mengedarkan pandangan. Tidak ditemukanya Rissa, akhirnya ia memilih untuk masuk ke dalam rumahnya. Rissa juga sepertinya memang masuk ke dalam—berhubung pintunya terbuka. Tidak apalah, itu malah membuat Devan ingat kalau ia harus pamit kepada orang tua Rissa—lebih tepatnya, ibunya Rissa.
"Gue cuman ambil jaket, kok," sergah Rissa muncul di balik ambang pintu ketika Devan baru saja mau masuk, dan itu membuat Devan setengah kaget.
Devan mendengus, "Bunda ke mana, Cha?"
Rissa tersenyum. Devan memanggil ibunya dengan sebutan Bunda, sama seperti dirinya. Rissa sendiri juga memanggil ibunya Devan dengan sebutan Mama, sama seperti Devan. Hal itu dikarenakan keakraban mereka sedari kecil dan orang tua mereka yang sudah dekat semenjak kuliah.
"Lagi nyiramin bunga di kebun belakang. Mau pamit?" tebak Rissa sambil membenarkan roknya yang tadi sempat tidak rapi.
Devan menggaruk tengkuknya, "Iya" gumamnya.
Omong-omong, kedekatan mereka membuat Devan mengetahui banyak hal tentang Rissa. Salah satunya tentang ayahnya. Semejak kepergian Bang Rian, abangnya Rissa, ayahnya jarang sekali pulang ke rumah. Ia lebih memilih untuk menetap di apartemen yang ada di Jakarta. Devan pun tahu kalau itu membuat ibunya Rissa tertekan, dan Rissa sendiri yang tidak seceria dulu.
◾◾◾
Melihat pembagian kelas yang ditempel di mading, membuat Rissa maupun Devan senang sekaligus lega. Pasalnya, mereka sekelas lagi setelah saat smp mereka sudah sekelas selama empat semester. Entah itu takdir, atau memang kebetulan. Namun keduanya lebih mempercayain kalau itu adalah takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Novela JuvenilKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...