Bel berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Saat itu, saat ketika Devan melontarkan sebuah kalimat yang sekaligus itu adalah sebuah kalimat pertanyaan; "Cha, lo 'kan hari ini ada jadwal ekskul klub koran, sori banget, karena gue harus pulang dulu, ada urusan ndadak. Lo enggak pa-pa 'kan?"
Dengan enteng, karena Rissa tidak mau memberatkan Devan, ia lantas mengangguk seraya tersenyum. Baginya, ia pulang dengan siapa dan naik apa, itu tidak penting asal ia tidak membebani Devan.
Yang Rissa tidak tahu adalah ketika Devan juga mengatakan sesuatu hal pada sohibnya akhir-akhir ini; "Tir, kalau bisa, tolong jagain Rissa. Gue ada urusan."
Tirta yang mendengar itu tersenyum miring. Jelas ia tahu kalau Devan suka dengan Rissa. Cara Devan yang posesif sudah menguatkan semua hal tentang itu. Devan sendiri tidak tahu kalau Tirta tahu semuanya, termasuk soal Tirta yang bisa disebut sebagai pengamat.
Sampai pada detik ini, di mana Rissa yang sedang duduk di sebuah ruangan lengang dengan pandangan di depannya; kertas-kertas berserakan di meja, pin yang tertusuk di sana-sini, dan seorang laki-laki yang tengah duduk di hadapannya—di seberang meja.
Entah kutukan apa yang membuat Rissa dan Febrian bertugas di dalam ruangan. Sementara yang lainnya—anak-anak yang mengikuti ekskul di bidang jurnalistik, kecuali klub mading—sedang mencari sesuatu yang baru, tentunya di luar ruangan. Bahkan ada yang di luar sekolah. Sebenarnya ini untuk memudahkan sang fotografer mencari objek-objek untuk dipotret.
Senior yang memimpin klub koran sedang mengurusi penerbitan koran di ruang percetakan.
Bosan, Rissa menumpu dagu. Sedikit frustasi karena meja di hadapannya sangat berantakan. "Kita enggak disuruh buat mberesin ini semua 'kan, Yan?" tanyanya yang membuat Febrian mengalihkan pandangannya dari kamera.
"Kok lo mikir gitu?"
"Karena kita doang yang ada di sini."
Febrian meletakkan kameranya. "Lo bete?" Febrian bangkit, "Kak Meghna sama anak buahnya enggak sekejam itu, kok."
Mau tidak mau, Rissa terkekeh. "Apaan," Rissa ikut bangkit, merasa aneh, ia menatap Febrian dengan raut wajah yang sulit diartikan. "Kita berdiri mau ngapain ya?"
Andai saja mejanya tidak lebar, Febrian sudah mengacak gemas rambut perempuan itu. "Gue mau mberesin. Ayo beresin aja."
Melihat tangan Febrian mulai membenahi kertas-kertas, spontan Rissa ikut membantu. Namun, sedikit berbeda dengan Febrian karena Rissa memilih untuk melepaskan pin-pin itu dulu yang kemudian diletakkan di tempat yang sudah disediakan.
"Yan."
Febrian menatap Rissa yang ternyata perempuan itu tidak mengalihkan pandangannya. "Kenapa?"
"Ini koran terbitan lama ya?" Rissa membasahi bibirnya. "Ah, ternyata ada point-point penting juga... oh yang ini catatan pentingnya."
Febrian menghentikan aktivitasnya. "Lo ngomong apa barusan?"
Rissa mendecak. Malas menatap Febrian karena catatan yang sedang dibacanya lebih menarik perhatiannya. "Yan," panggilnya lagi seraya menatap laki-laki itu. "Turnamen basket sama pemandu sorak bentar lagi, ya?"
Febrian mengangguk. "Kata Samuel sih, bulan depan udah turnamen. Menurut gue, itu agak lama juga."
"Kenapa, Sa?" lanjut Febrian.
Tatapan Rissa layu. Febrian yang melihat, menelan ludahnya pelan-pelan. "Sa?" panggilnya pelan.
"Devan...," Rissa meletakkan catatan itu di atas tumpukkan koran lama. Setelahnya, ia kembali menatap Febrian. "Gue enggak yakin, kalau... kalau Devan bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...