Devan bangun ketika masa kritis yang dialaminya selama kurang lebih tiga hari usai. Devan tidak merasakan apa-apa selain pening di kepalanya dan semua badannya yang terasa sakit setelah ia sadar. Sadar dari tidur yang menurutnya paling damai, tidur yang juga benar-benar mengistirahatkan tubuhnya yang sudah kelewat lemah ini.
Ingatan Devan saat itu belum seutuhnya pulih. Kilatan-kilatan peristiwa sebelum ia bisa berada di rumah sakit masih belum nampak jelas. Semua masih samar-samar. Namun ia masih ingat jelas siapa yang terakhir membawanya ke rumah sakit.
Untunglah masa kritis yang dialaminya tidak terlalu lama, sehingga tidak menimbulkan rasa cemas dan khawatir yang berlebih pada orang yang disayanginya.
Saat sadar, orang yang pertama kali Devan lihat adalah Mama. Wanita yang telah melahirkannya itu berdiri di sampingnya dengan mata yang begitu senang, senang melihat anak sulungnya bangun, seolah-olah seperti wanita itu merasakan lagi saat pertama kalinya ia melahirkan keturunan dari keluarga Andra.
Sebenarnya, perumpamaan itu tidak berbeda jauh dengan kenyataannya, mengetahui Devan sama saja seperti seorang bayi yang baru saja dilahirkan, dilahirkan untuk kedua kalinya di dunia. Perbedaannya, hanya pada usia dan banyaknya dosa yang sudah ia dapat. Yah... Tuhan masih memberikan kesempatan untuknya. Yang mungkin akan Devan perbaiki secepatnya.
Setelah Mama, masuklah satu orang perempuan yang membuat Devan di saat itu juga menatapnya dengan intens. Atmosfir seketika berubah drastis. Perlahan kenyataan mengundangnya untuk mengingatnya lagi. Mengingat seluk beluk perempuan itu hingga yang terdasar.
Sementara yang dipandang tersenyum sendu. Langkahnya berhenti setelah ia masuk ke dalam ruang ICU. Seperti enggan untuk melangkah lebih dekat. Kendati berikutnya, kecanggungan meliputi satu ruangan dingin berbau obat-obatan ini yang dihiasi dengan selang-selang kemarin—dan mungkin masih saat ini—yang menjadi alat penentu hidup sang laki-laki itu.
Mereka saling bersitatap, melupakan eksistensi wanita yang berada di sebelah Devan. Itu konstan sampai Mama berdehem, menghancurkan segalanya, "Kenapa diem, Cha? Kamu kangen 'kan sama Devan?"
Tidak bisa dipungkiri lagi, Rissa buru-buru mendekati Devan—menghilangkan semua keraguannya. Duduk di sebelah ranjang Devan—berhadapan dengan Mama yang sepertinya lebih memilih berdiri—dan mengusap lengan laki-laki itu lembut, pelan, penuh perasaan.
Setetes air mata jatuh, mengalir di pipinya, tapi Rissa langsung mengusapnya. Tidak lucu menangis di depan orang yang habis terbangun dari masa kritisnya. Bisa-bisa, orang itu makin gelisah melihat dirinya menangis.
"Gue tau kalau lo bakal bangun, Dev," suaranya lirih bergetar. Kepalanya menunduk, melihat jarinya yang masih mengusap pelan lengan Devan. "Jangan sakit lagi. Gue sekarang tau apa mau lo, apa keinginan lo. Gue janji bakal memenuhi itu, Dev. Maaf karena selama ini gue gak pernah peka."
Dan Rissa tidak membutuhkan jawaban itu untuk sekarang. Ia hanya ingin Devan mendengarnya secara eksplisit, berharap agar Devan ada semangat untuk sembuh dan bangkit lagi. Rissa ingin mereka yang seperti dulu walaupun semuanya sudah tak lagi sama.
Devan sengaja diam. Selain karena ia yang masih susah untuk berbicara, juga karena merasa tidak nyaman dengan selang-selang yang masih menempel di beberapa bagian tubuhnya—salah satunya selang oksigen yang menutupi seluruh mulut dan hidungnya.
Sengaja diam, tapi diam-diam juga, Devan mengukir senyum tipis.
Sampailah pada hari ini, hari selasa. Di mana Devan sudah berada di ruang inap biasa, ruang VIP kelas atas. Ditemani dengan segelas susu putih dan sahabat kesayangannya yang sepertinya sedang sibuk mengupas buah apel. Televisi yang berada di ruangan ini pun ikut meramaikan segala kesenyapan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...