But Not Least
◾◾◾
"Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta."—Dee Lestari
—End—
◾◾◾
Samuel memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kecil depan kedai susu kambing Bu Rasmina. Kedua orang yang berada di dalam Miko turun dengan cepat tanpa berkata sepatah kata pun.
Kedai susu kambing Bu Rasmina tidak bisa dibilang sepi karena kedai ini sudah begitu terkenal di kotanya dan mempunyai banyak pelanggan walaupun dari arsitektur kedainya, terkesan sangat begitu sederhana.
"Ya Tuhan, Ibu tambah cantik aja," celetuk Samuel sambil nyengir, mengundang perhatian pembeli untuk melihat ke arahnya. "Dapet potongan harga bisa dong, Bu."
Rissa terkekeh melihat tangkah Samuel.
Bu Rasmina sendiri yang menjaga kasir mengerutkan alisnya. "Saya sudah kebal dengan pujian kamu yang pasti meminta imbalan."
Samuel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia mengeluarkan setu lembaran uang berwarna merah. "Ya udah, dua bungkus ya Bu," titahnya sambil menyodorkan uangnya. "Take away."
"Dua bungkus?" koreksi Rissa ketika Samuel menyebutkan dua bungkus. Padahal ia ke sini hanya berniat untuk mengantarkan Samuel. Tidak terlintas di pikirannya kalau ia juga ingin membeli susu kambing.
"Masa gue beli buat gue sendiri?"
Rissa hanya mengangguk karena tidak mungkin sudah dipesankan tapi ia tolak. Kendati berikutnya ia dan Samuel berjalan menuju tempat yang kosong, itu berada di dekat kasir. Lagipula susu kambing yang dihidangkan tidak membutuhkan waktu yang lama.
Tak lama pelayan datang membawakan pesanan Samuel. Sigap keduanya langsung berdiri untuk meninggalkan tempat dan segera pulang. Namun tak disangka, kedatangan dua orang yang salah satunya mereka kenali membuat suasana menjadi tidak enak.
"Brian?" Konfirmasi Rissa penuh tanda tanya.
Febrian mematung melihat sosok yang berada di depannya sekarang.
"I can explain."
"Kenapa?"
Samuel yang mengerti kalau-kalau mereka akan mendebatkan masalahnya di tempat seperti ini, buru-buru menarik Rissa.
Ia pun melenggang pergi setelah sebelumnya sempat membisikkan sesuatu di telinga Febrian, "Sakit lo."
Febby yang mengerti keadaan langsung sangat merasa bersalah. Ia menepuk lengan Febrian agar bisa bertatap muka, "Yan sorry, gak seharusnya—"
"Lo gak salah, ini cuma salah paham."
Febby masih tetap tidak bisa lepas dari perasaan bersalahnya. Tatapannya berganti melihat ke arah dua orang di luar yang baru saja masuk ke dalam mobil.
Sementara Samuel dan Rissa diselimuti keheningan. Mereka saling terhanyut dalam pikiran masing-masing sampai akhirnya Samuel mengatakan sesuatu.
"Dia Febby," katanya sambal memasang seatbeltnya. "Lo bakal tau sendiri dari Febrian karena gue gak ada hak untuk menjelaskan. Udah seharusnya lo tau tentang itu."
"Do they love each other?"
"He loves you, so much," Samuel menginjak gas mobilnya setelah sebelumnya melihat Rissa. Perempuan itu melamun. "Percaya sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...