"Bang!"
Pintu terbuka, kontan Devan mengernyit heran pada seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. Dalam hati, ia sedikit merutuki, mengapa tadi pintu kamarnya tidak dikunci saja?
"Apa?" jawabnya ketus sambil menaruh ponsel di nakas.
Dafa menyengir, tanpa izin dari si pemilik kamar ia langsung saja menerobos masuk. "Gue mau curhat, nih," ucapnya tanpa berdosa seraya mendudukkan dirinya di sisi ranjang.
Devan mendengus kesal.
"Sibuk!" elaknya dengan ketus. "Lo ngganggu."
Dafa menggaruk bagian belakang kepalanya. Dengan enteng ia langsung curhat, "Apa yang bakal lo lakuin kalau lo naksir sama orang? Dipendem? Atau langsung ngaku?" Dafa mengambil napas dalam-dalam lalu segera melajutkan, "Masalahnya, Bang, gue sahabatan sama dia. Kalau gue ngaku, gue takut jadi canggung."
Devan bungkam. Entah mengapa Devan merasa kalau adik satu-satunya itu tidak sedang mengungkapkan isi hatinya, namun menyindir dirinya. Terlihat sangat jelas. Dan, dalam sekejap itu pula, muncul nama yang terlintas di benaknya.
Clarissa Felicya.
"Gue tau lo nyindir gue," cibir Devan yang membuat Dafa terkekeh, bisa dibilang kekehan ejekkan. Nah 'kan! Kentara sekali kalau Dafa memang menyindir, dasar bocah sialan!
Sambil menunggu balasan dari Dafa, Devan bangkit dari ranjang tidurnya untuk keluar kamarnya. Tidak betah jika mendengarkan sindiran-sindiran yang tidak bermutu dari adiknya itu. Oh, bahkan tadi, ia belum mengizinkan Dafa untuk masuk ke dalam kamarnya bukan?
"Bang!"
Devan menoleh, mungkin terakhir kalinya, karena jika Dafa memanggilnya lagi, ia tidak akan menanggapinya. "Apa lagi?" sungutnya.
Dengan lagak khasnya, Dafa bangkit dan mendahului Devan untuk keluar kamar. "Mama mau ngomong tuh, ditunggu di ruang kerja Papa," ujarnya dengan nada kasual.
Devan turun dari lantai atas tepat saat hilangnya Dafa yang masuk ke dalam kamar sebelah Devan.
Sambil berjalan, otaknya menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh mamanya. Bersangkutan dengan apapun, Devan tidak tahu.
Pelan, Devan membuka pintu. Angin dingin langsung menyambutnya ketika ia masuk. Awal yang ia lihat adalah mamanya yang sedang berdiri di depan rak buku dengan tangan yang membuka lembaran-lembaran buku yang setau Devan, itu adalah novel. Kecintaan mamanya terhadap novel, sama seperti dirinya yang mencintai basket.
"Ma," panggil Devan seraya mendudukkan dirinya di sofa.
Talitha—mamanya—yang baru sadar kehadiran Devan setelah Devan memanggilnya pun segera melipat kecil di bagian atas halaman novelnya dan langsung meletakkan novelnya di rak buku.
Alis Devan bertaut ketika Talitha memandangnya dengan pandangan cemas. Wanita yang sudah berkepala empat itu berjalan mendekati meja kerja Andra—suaminya—untuk mengambil berkas-berkas yang tidak diketahui sama sekali oleh Devan.
"Devan?" panggil Talitha sangat pelan.
"Ya, Ma?"
"Kamu tau kamu itu kenapa?"
Devan mengambil napas berat, "Aku punya kelainan darah, terus kenapa?"
Talitha mendekat ke arah Devan lalu duduk di sebelah Devan dengan tangan yang membawa berkas-berkas itu dan memberikannya pada Devan. Perlahan, tangan Talitha mengusap-usap pundak Devan, menguatkan.
Sementara reaksi Devan di luar dugaan Talitha. Wanita itu kira Devan akan kaget dan ikut cemas, namun ternyata salah. Devan justru tetap tenang dan begitu santai. Tidak habis pikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...