Involved [26] - Obrolan Rahasia

2.9K 180 12
                                    

       

"Yang njagain Devan siapa, Cha?" tanya Bunda tepat saat Rissa baru saja keluar dari kamarnya.

Rissa tidak diizinkan oleh Talitha pulang malam karena besok ia harus sekolah.

"Mama, Bun," balasanya sambil medekat ke arah Bunda, lalu duduk di lantai, dekat dengan sofa yang Bunda tempati.

"Oh...," Bunda mengangguk-angguk. "Devan gimana, Cha? Udah baikan?"

"Mungkin," tukas Rissa skeptis. "Devan berubah lagi ya."

Bunda mengusap hidungnya. Beliau sudah menengok Devan saat itu setelah Rissa dan memang terlihat perubahan pada fisik Devan. Laki-laki itu nampak lebih tirus dan kurus, rambutnya pun seperti sudah mulai menipis karena rontok. "Namanya juga orang sakit, Cha, ya pasti berubah."

Rissa mendecak. Menatap bundanya sebal ia berujar, "Ih, maksud Icha bukan berubah itunya."

Bunda malah terkekeh. "Lalu?"

"Ih Bunda aja gak peka," lenguh Rissa sambil memeluk betis bundanya. "Ya sikapnya. Mungkin semenjak Devan kena leukimia, sikapnya jadi berubah-ubah gitu, Bun. Dan Icha takut kalau...."

"Apa? Devan kembali putus asa dan akhirnya dia enggak mau sembuh?" Bunda melanjutkan kalimat Rissa yang diangguki dengan perempuan itu sendiri.

"Apalagi sampai nekat melakukan hal-hal yang enggak wajar lagi," timpal Rissa sesudahnya. Ah, memikirkan itu semua membuatnya pusing sendiri.

"Kalau menurut Bunda, Devan enggak akan mengulangi hal-hal yang membuat dia jadi makin parah setelah kemarin dia koma."

"Apa yang membuat Bunda jadi mikir itu?"

"Bunda rasa gitu, Cha," Bunda mengembuskan napas panjang. "Mencoba berpikir positif lebih baik. Mungkin dia sekarang lagi bersyukur karena dikasih kesempatan untuk bisa bangun, jadi dia akan berpikir dua kali kalau mau mengulangi hal yang sama."

Rissa mengganti posisinya dengan menyandar pada kaki sofa. Ia memang lebih memilih duduk lesehan di lantai. Rasanya dingin dan nyaman, baginya. "Gitu, Bun? Kalau akhirnya Devan pergi gimana?" Rissa menatap wajah bundanya.

Bunda tersenyum teduh seraya mengelus-elus rambut Rissa. "Itu takdir, Icha. Kamu enggak bisa mengelak dan menyalahkan semuanya. Semua bakal kehilangan Devan kalau dia pergi, tapi pada kenyataannya kita enggak bisa apa-apa. Dan sekarang, kita cuma bisa berdoa dan membantu menyemangati Devan."

Icha diam, matanya masih melihat raut wajah Bunda yang menenangkan lalu kembali menatap depan.

"Justru sekarang, kamu jangan sedih, Cha. Kalu orang yang disayangnya sedih, Devan malah semakin terpukul, beranggapan bahwa dirinya gak bisa ngasih yang terbaik. Kamu gak mau Devan merasa begitu 'kan?"

Rissa menggeleng.

Tangan Bunda masih saja mengelus-elus rambut Rissa. Teringat sesuatu, beliau pun berdehem. "Oh iya, Cha, waktu malem-malem kamu ke rumah sakit sama Talitha, yang nganter pulang itu siapa ya namanya? Bunda, kok, lupa."

"Samuel?" Rissa mengerutkan dahinya. "Emang kenapa, Bun?"

Rissa mau tidak mau jadi mengingat hari itu juga. Betapa nyenyak tidurnya sampai-sampai saat Rissa bangun, ia sudah mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri. Lalu saat Rissa menanyai hal itu ke Bunda, Bunda menjawab kalau ia diantar oleh seorang laki-laki berkulit putih dan mempunyai wajah seperti bayi, biasanya orang-orang menyebutnya baby face.

"Anaknya imut ya, Cha. Nggemesin," tukasnya santai yang kontan membuat Rissa terkekeh.

"Lucu juga, Bun," aku Rissa pada akhirnya.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang