Involved [13] - Tampak Perubahan

3.4K 278 10
                                    

Devan membuka pintu kamarnya karena merdengar ada ketukan di pintu.

Laki-laki itu tergelak.

Seseorang berdiri di hadapannya dengan pandangan, yang Devan sendiri tidak mengerti, namun Devan tahu salah satu pandangannya memberi tahu kalau sosok prihatin.

Dan Devan benci itu.

Benci ketika ia dilihat lemah oleh orang lain.

"Papa mau bicara," tegasnya.

Devan melengos, ia memutar bola matanya jengah. Kalau sudah seperti ini, akan membuang waktu karena malam ini, ia dan Rissa akan menghabiskan waktu di tempat andalannya.

"Jam tujuh nanti malam, waktu makan malam bersama," cecarnya kemudian. Kemudian dengan perlahan pria itu menyipitkan matanya karena Devan tak kunjung menanggapi. "Devan?"

"Ah!" Devan tersentak, kemudian tersenyum, "Devan bisa, Pa."

Papanya mendesah lega, ia mengusap rambut anak sulungnya dengan sayang. Tidak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan Devan tanpa berucap lagi.

Devan masih berdiri di ambang pintu dengan pandangan kosong. Tapi, apa wajar jika pandangan kosong namun bibirnya mengulas senyum? Bukan, bukan senyum bahagia ataupun senang, itu jauh di luar itu.

Jam tujuh malam.

Kalau jam tujuh, itu artinya dua jam lagi. Dua jam lagi ia akan diberitahu atau diperingati atau diceramahi atau diomeli, yang jelas, Devan tahu kalau ini mengenai tentang penyakitnya. Selalu seperti itu.

Bisa-bisa gue kena gejala apatis. Sucks.

Gelengan cepat nan tegas menyusul, Enggak, gue harus bisa ngendaliin semuanya senormal mungkin.

Pintu sebelah terbuka, "Bang!"

Devan menoleh, kepalanya mendadak pusing. "Apa? Mau nggangguin gue?"

Dafa kaget, sikapnya, jelas bukan sikap abangnya.

"Bang, lo stress?" Dafa buru-buru menggenggam knop pintunya kembali. Takut kalau sebentar lagi akan ada sandal yang melayang. "Bang, kok gue gak diajak makan malem bareng, sih? Lagian Papa tumben ngomong gitu, biasanya juga makan malem dengan sendirinya bareng. Ye gak?"

Sangat kentara kalau Dafa tadi menguping.

Devan meringis, tangannya mengepal.

"Daf," tandas Devan yang kata Dafa, itu seperti panggilan maut. Memang benar ada yang berbeda dari Devan. "Tolong tinggalin gue sendiri," Devan melirik adiknya yang tidak juga beranjak dari tempatnya. "Pergi, apa susahnya, sih, setan?"

Dafa membeku. Matanya was-was, "Bang, terakhir kali lo bilang kasar, saat smp kelas sembilan karena saat itu lo berantem hebat sama musuh lo. Dan abis itu lo tobat gak bakal bilang kata-kata itu lagi karena lo jijik," Dafa mendecih keras, "Jijik yang pertama karena lo merasa malu sama Rissa; jijik yang kedua karena lo malu sama diri sendiri dan orang terdekat lo; jijik yang ketiga, karena lo sendiri merasa seperti orang yang enggak diinginkan di dunia ini."

"Dan sekarang, lo mengucapkan kata-kata keparat itu lagi? Udah enggak jijik? Wow," lanjut Dafa.

"Ck," mata sinis Devan kini terlihat sangat jelas dengan senyum, senyum manis namun berbahaya. "Ternyata lo masih inget itu semua. Gue bangga punya adek bermulut comel macam lo, jadi... tolong tinggalin gue."

Dafa tersenyum, ini senyum meledek. "Siap kapten!" dengan gaya macam kapiten, berjalan menghentak memasuki kamarnya, pura-pura membawa pedangnya, persis seperti lagu 'aku seorang kapiten'.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang