Tinggal sehari lagi—besok—ujian tengah semester yang diadakan SMA Nada selesai. Dan sekarang, hanya menunggu beberapa waktu lagi bel pulang dibunyikan.
"Yan, tadi dia ke sini lagi. Katanya, dia bakal pindah ke Bandung... dan sekolah di smada."
Kata-kata kakaknya dari balik telepon, masih terngiang di kepalanya. Febby pindah? Ketidaknyangkaannya membuatnya akhir-akhir ini jadi sering melamun, bahkan hari senin saat ujian yang dijalani dengan semangat, kini empat hari terakhir ia jadi tidak terlalu fokus.
"Ngelamun? Lagi?"
Febrian melirik Samuel, "Bukan."
"Terus? Boker?"
Sepertinya, bukan saatnya untuk bercanda. "Udah tau ngelamun ngapain tanya lagi sih, kampret!"
"Ribut apa, sih?!"
Bibir Samuel mengerucut. Ia lalu menatap Nial yang sama terbingungnya dengan dirinya.
Ah, dua sejoli. Selalu seperti itu. Empat hari terakhir pula ketika Febrian sedang melamun, pasti selalu diganggu oleh mereka.
Dengan tampang bete, tentu saja, Febrian mengambil tas ranselnya lalu bangkit. Itu membuat seisi kelas heran, apalagi Nial maupun Samuel.
"Mau ke mana?" tanya Nial.
Sungguh, Febrian ingin sekali mencak-mencak. Menjambak rambut Nial maupun Samuel, sekaligus memberikan beberapa bogeman mentah.
"Pulang lah!" bentak Febrian dalam nada tinggi dan bercampur emosi. Membuat seisi kelas yang tadinya ricuh jadi sunyi dan menatap dirinya heran. Febrian tidak biasanya seperti ini.
Samuel menimpali, "Bel pulang belum bunyi!"
Febrian mendesah keras. "Gue tau," singkatnya. Ia menuju bangkunya lagi dan mendudukkan dirinya di sana dengan kasar. Menyandarkan punggungnya di kepala kursi ia melanjutkan, "Bagi gue, masalah ini serius, dan gue mau kalian dengerin gue."
Kontan Samuel menyengir. Ia suka mendengar cara Febrian bercerita, nada laki-laki itu jika bercerita—seserius apapun—terdengar kalem dan santai. Tipikalnya memang seperti itu, sih. Dari gaya, cara mengobrol dalam kehidupan sehari-hari pun sudah terlihat jelas.
"Kalian tau tentang masa lalu gue 'kan?"
Samuel dan Nial menggeleng.
"Sayangnya gue gak percaya."
"Sebelum ini, lo enggak pernah bahas tentang masa lalu lo," celetuk Nial. "Gue sama Sam cuma nebak. Lagipula, kalo kita mengonfirm tentang masa lalu lo itu, lo pasti selalu nolak dengan alasan; 'jangan bahas masa lalu gue'."
"Dan ujung-ujungnya lo ngambek," tatapan Samuel yang mendengar kalimat Nial serius, kini berubah jenaka. "Girls, itu perempuan, Yan. Ngambekan amat, sih. Entar kalo lo punya doi trus lo ngambekan gima—"
"Pe'a!" Nial menoyor kepala Samuel. "Gak gitu juga!"
"Girls? Gue laki-laki," bantah Febrian kalem.
Samuel tertawa hingga tatapan manusia-manusia yang berada di kelasnya langsung berpusat pada dirinya. Ia tertawa, namun Nial dan Febrian malah melihatnya dengan pandangan jijik, dan itu membuat bulu kuduknya berdiri. Suasana seketika mencekam.
"Oke kawan-kawanku!" Samuel berdiri kemudian menunduk seperti memberi hormat kepada para hadirin. "Maafkan Ricard, Ricard hanya kelepasan."
Menanggapi, ada yang terkekeh geli, ada juga yang menggeleng-geleng keki. Kendati kemudian, Samuel mendudukkan dirinya, itu bertepatan dengan bel sekolah berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...