Pagi di Bandung. Seorang laki-laki berdiri di samping mobilnya, mobil yang baru-baru ini wajib dipakainya ketika ia akan pergi ke mana saja.
Laki-laki itu gelisah. Apalagi ketika seorang perempuan lewat di hadapannya dengan mengabaikannya begitu saja, seolah-olah si laki-laki memang hanya halusinasi belaka. Tidak nyata, tidak senyata saat mereka berciuman.
Laki-laki itu terus mengamatinya, hingga si punggung perempuan mengecil dan terlihat samar-samar. Mungkin si perempuan menjauhinya karena insiden semalam, hingga memutuskan untuk berangkat ke sekolah sendirian, terlebih hanya berjalan kaki.
Laki-laki itu mengenakan kemeja putih berlengan pendek, celana panjang berwarna abu-abu, berambut spike, warna wajah yang putih—putih pucat tentunya, bibirnya cukup proporsional.
Dan ia memegang tas ranselnya;
Namanya Devan.
Deskripsi yang tepat tentunya, tetapi tidak seluruhnya. Beberapa disembunyikan karena bersifat privasi, privasi yang menurutnya mengesalkan, yang membuat dirinya sekarang bersifat lebih terlihat ganas.
Kalbunya penuh luka, dan benar kata Samuel: sekali tonjok, jatuh.
Perempuan yang ia amati kini sudah tak terlihat, tenggelam oleh pembatas dinding yang kokoh, seperti pembatas yang menghalangi dirinya dengan perempuan itu. Menghalangi semuanya, hingga laki-laki itu hanya bisa membatin;
Gue bisa apa?
Lalu si laki-laki memasuki mobilnya, tidak lama mobil itu melesat.
◾◾◾
Tin tin!
Rissa terkesiap, lalu ia bergeming sejenak karena melihat mobil yang sedikit asing baginya. Mobil mini cooper berwarna hitam.
Rissa menyipitkan matanya kala mobil itu berhenti tepat di sampingnya. Perlahan, kaca mobil terbuka dan nampaklah seseorang yang berada di dalam mobil itu.
"Halo!" sapa seseorang pemilik mobil itu dengan riang dan cengiran khasnya.
Mata Rissa berkedut heran, "Halo... juga?"
"Kenapa lo jalan kaki? Mau gue anter sampe sekolah? Yuk bareng!"
Rissa semakin bingung melihat tingkah laki-laki itu.
Melihat Rissa yang seperti itu, membuat si penyopir mobil—Samuel—turun untuk membukakan pintu sebelah.
"Ah! Tinggal masuk apa susahnya, sih!"
Rissa pun masuk. Kini ia benar-benar bingung. Samar-samar Rissa mengingat kalau tidak salah, laki-laki ini teman satu klubnya Devan, namanya Samuel. Ya, Samuel. Lagipula tadi sempat Rissa melihat kalau plat mobil laki-laki itu bertuliskan nama laki-laki sendiri.
Setelah beberapa detik Rissa mengingat lagi, akhirnya ia ingat, kalau Devan juga pernah bercerita soal Samuel. Katanya pada saat itu, hanya Devan dan Samuel sendiri di tim junior yang dipilih untuk ikut tim inti basket, yang sebentar lagi akan mengikuti turnamen.
Devan lagi.
"Jadi?" tanya Samuel tiba-tiba dengan mulai menginjak gas mobilnya. "Lo kenapa jalan kaki?"
"Emang salah ya kalo jalan kaki?"
Arrgh, Samuel gemas. Jelas Febrian ataupun Devan nyaman berada di dekat perempuan ini, sebegitu polosnya, sih.
"Enggak, bukan gitu maksud gue," Samuel membelokan mobilnya. Sebenarnya tadi saat bertemu Rissa, itu jarak sekolah sudah dekat. "Lo 'kan biasanya sama Devan, kenapa kali ini enggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...