Involved [21] - Sementara

3.4K 256 25
                                    

You don't understand how much i hate my self because of loving you.

—tumbler

◾◾◾

Sarat matanya akan memberi tatapan nanar pada apa yang dilihatnya saat ini. Padahal sebenarnya itu hal sepele; pintu berpelitur halus berwarna cokelat klasik yang akan membawanya masuk ke dalam ruang kerja papanya.

Faktanya, omongan Samuel tidak berpengaruh lama karena sampai detik ini, ia merasakan keputusasaan itu lagi, yang lebih buruk dari sebelumnya.

Pintu pun dibuka secara perlahan, menampakkan seorang pria paruh baya yang duduk di meja kerjanya dengan laptop yang menyala serta kertas yang bertebaran di sana-sini.

Devan memilih untuk duduk di sofa, sebisa mungkin agar bersikap seperti Devan yang dulu dan tidak kurang ajar terhadap papanya sendiri. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, ketika otaknya diterjang dengan pikiran-pikiran negatif hingga membuat dirinya seperti orang lain.

"Devan, Papa enggak minta kamu untuk duduk di sana," tukasnya. Tanpa menekan tombol shut down, papanya langsung saja menutup laptopnya. Memang, terkesan tidak peduli dengan benda bermerek itu.

Devan mendengus, kepalanya menunduk. Berat hati ia duduk di hadapan papanya.

"Kamu udah tau 'kan, Papa meminta kamu ke sini untuk apa?"

"Ya," singkat Devan. "Devan selalu tau."

Terdengar suara laci ditarik, membuat kepala Devan yang tadinya menunduk jadi mendongak. Papanya seperti mengambil sesuatu, yang Devan tahu itu adalah kertas, namun tidak tahu isinya apa. Ironis.

Tangan papanya menyodorkan kertas itu. "Kemarin kamu melewatkan kemo, jadi nanti, untuk tiga hari ke depan, Papa bawa kamu ke Jakarta agar bisa menjalani pengobatan yang lebih intensif."

Devan menautkan alisnya seraya mengambil kertas itu. Ternyata surat keterangan dokter. Devan kenal dengan dokter ini bukan karena langganannya, melainkan karena sahabat dekat ayahnya. Dokter Gordon.

"Harus ya?" Devan melengos lesu. Tangannya mulai meletakkan kembali kertas itu di meja.

Papanya justru terkekeh, "Kamu mau sembuh 'kan?" mencairkan suasana—sekaligus usaha agar bisa dekat dengan anak sulungnya lagi. Ia menatap Devan jenaka. "Kalo sembuh, kamu 'kan bisa lebih lama sama Icha. Bisa menjadikan Icha sebagai milik kamu sepenuhnya."

Devan tergelak. Ia meringis sementara hatinya teriris mengetahui bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah. "Penyakit kayak aku, cuma ada harapan sedikit buat sembuh total."

"Bukan berarti tidak ada usaha yang lebih, Devan," Papanya mengusap dagunya sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Kamu sayang 'kan sama Papa Mama? Juga... Icha?"

"Apa ada alasan buat aku untuk enggak sayang sama kalian?" Devan mendesah berat. Pandangannya mulai tidak fokus karena pikirannya yang sudah melayang entah ke mana.

"Papa mau kamu ada usaha untuk sembuh," tegas papanya yakin. "Tidak ada yang tidak mungkin, Devan. Tuhan tidak pernah tidur. Kamu harus mempercayai itu."

Devan menggeleng. "Aku udah enggak bisa sembuh."

"Kenapa sepesimis itu, Devan? Kamu masih muda, berjuanglah selagi masih bisa. Terutama untuk melawan penyakit kamu itu."

Devan diam. Benar kata Samuel. Di sekelilingnya banyak orang yang peduli, tapi mengapa dirinya sebuta itu? Apalagi sampai benar-benar putus asa dan membiarkan dirinya masuk dalam kategori orang sakit. Sakit jiwa.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang