Involved [10] - Is it Possible?

4.6K 326 16
                                    

Sepersekian detik hening, dan tidak lama keheningan itu pecah ketika Samuel berdehem. Ia menengadah, kembali berdehem lalu bertanya, "Btw, tadi Tirta bilang apa ke lo? Penting?"

Febrian hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Samuel, sementara Nial yang berada di samping Febrian hanya mendengus.

"Kalo gue kasih tau, apa untungnya buat lo?" tanya Febrian balik tanpa menjawab pertanyaan Samuel.

"Serah, Yan, serah," balas Samuel pasrah.

Nial menggeleng, tak urung ia juga tersenyum, senyum meledek. "Sangsi amat lo nyet."

Febrian tiba-tiba mengerling genit ke arah Samuel yang ditanggapi dengan umpatan geli laki-laki itu, "Najis lo, Yan!"

Febrian terkekeh. "Tirta bilang, tanggal 27 September ada pameran galeri di Gedung Serbaguna," balasan Febrian yang membuat Samuel maupun Nial kembali serius pada topik percakapan baru. "Nah, dia nawarin gue buat ikutan karena itu yang nyelenggarain smada sendiri. Kebetulan gue 'kan juga anak klub jurnalistik."

"Oh, sekitar dua minggu lagi," cetusnya. "Terus?" tanya Nial penasaran. Ia ingin Febrian melanjutkan kata-katanya. Tetapi yang diharapkan malah melesat jauh karena Samuel tiba-tiba berteriak.

"Ya Tuhan!" Samuel melotot ke arah Nial dan Febrian secara bersamaan. "Tugas gue belum dikerjain!"

Samuel menuju ke arah meja belajarnya dengan diikuti pertanyaan sekaligus rentetan kalimat dari Nial, "Tugas apaan?" remeh Nial dengan memincingkan alisnya. "Lo ngganggu kesempatan kita buat ndengerin semua cerita Brian, Sam."

"Brisik!" Samuel merogoh tas ranselnya dengan panik.

"Tugas apaan? Oh, tugas fisika halaman 25?" tanya Febrian. "Liat gue aja. Gue udah semua."

Dan secara tiba-tiba, terdengar desahan napas lega dari arah meja belajar. Spontan, laki-laki itu memandang Febrian dengan kilat mata berterimakasih.

Guru fisika yang mengajar di kelas mereka bertiga, memang terkenal galak dan menyeramkan. Pernah saat itu, ada yang tidak mengerjakan tugas beliau, beliau menyuruhnya memutari lapangan outdoor selama jam pelajarannya berlangsung. Dan, Samuel tidak mau hal itu terjadi pada dirinya.

"Lo memang bisa diandalin."

"Najis," celetuk Nial seraya mendecak.

"Iri aja."

"Woy!" Febrian menaikkan oktaf suaranya. Ia selalu sabar menghadapi kedua temannya. "Mau lanjut gak? Atau gue pulang?"

"Lanjut!"

Febrian mengangguk mendengar persetujuan dari Samuel, ia menatap Nial yang ternyata laki-laki itu juga sependapat dengan Samuel.

Samuel duduk lagi—berdekatan dengan Febrian dan Nial yang kemudian dilanjutkan dengan rentetan kalimat yang keluar dari mulut Febrian.

◾◾◾

Sudah lebih dari tiga jam Rissa berada di rumah Devan, semenjak ia pulang menonton dan membeli kado untuk Dafa. Pesta kecil-kecilan pun sudah selesai tadi, sekitar sepuluh menit yang lalu.

Dan sekarang, ia duduk di meja bar, menemani Dafa yang sedang membuat kopi. Devan sendiri sedang izin ke toilet karena panggilan alam.

"Anjir!" tukas Dafa tiba-tiba yang membuat Rissa sedikit terkesiap.

"Kenapa?" Mata Rissa menyelidik, melihat ke arah Dafa. Laki-laki itu sedang membuka rak dinding dapur.

"Gue gak nyangka. Papa masih nyimpen satu botol vodka," laki-laki itu mengelah napas, "Dan dua botol guinnes. Oh, ada lagi, satu botol... miller lite?"

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang