Epilog
◾◾◾
Pilihan yang terbaik adalah menerima.
—Dee Rectoverso
◾◾◾
Angin sejuk menyerbu wajahku, mengacak-acak rambutku secara lembut.
Jika dihirup, akan sangat menenangkan. Ketenangan yang aku suka selama ini, tanpa gemuruh dan hiruk pikuk yang berlebihan. Apalagi ketika bau petrichor ikut menemani angin sejuk di pagi hari seperti ini.
Aku menyandarkan sepeda di pohon yang letaknya tidak jauh dari rumah pohon kesayanganku dengan laki-laki itu.
Dan, lagi-lagi, aku merasa alam bawah sadarku kembali masuk dalam duniaku.
"Cha, mau basket dulu?"
Aku tersenyum, lalu mendahului Devan untuk menuju ke lapangan basket. Mengambil bola basket yang berada di tengah-tengah lapangan, mencoba memantulkan, dan saat aku memasukkan bola ke dalam ring, aku gagal.
"Tumben gak semangat?"
Aku menoleh kepada si penanya. Melemparkan bola basket itu ke Devan, aku pun menjawab pertanyaan Devan, "Masa?"
"Lo gak pa-pa main basket?"
Aku mengangguk.
Dengan jawaban itu, Devan langsung memantulkan bola basketnya semangat. Mengambil perhatianku seutuhnya hingga tak sadar, aku merindukan ini. Sudah lama kami tidak bertanding basket.
Tidak lama aku dan Devan bermain. Cukup 20 menit, namun tetap saja napasku tersengal-sengal dan aku merasakan lelah di sekujur tubuhku. Bertanding basket, atau lebih tepatnya berolahraga basket, itu benar-benar menyita energi. Tetapi di samping itu, basket menyehatkan.
"Mana cemilannya, Cha?" tanya Devan seraya mendudukkan dirinya di salah satu kursi di pinggiran lapangan basket. "Tumben banget gak bawa."
Aku mengembuskan napas, kemudian menyusulnya duduk. "Takut enggak dimakan. Lo 'kan sekarang lebih milih air putihnya dibanding cemilan sama soft drink lainnya."
Devan tersenyum simpul. Tapi tiba-tiba senyumnya mengembang, seolah-olah kataku adalah lelucon aneh. "Gue udah bebas sekarang."
Aku mematung. Apa maksud dia?
"Bebas ap—"
"Gue sekarang udah bebas walaupun enggak bisa sama lo lagi."
Aku semakin bingung dibuatnya. Dia ngomong apa, sih? Dan, kenapa?
"Gue enggak ngerti Dev?"
Namun, Devan mengalihkannya begitu saja dengan bangkit dari duduknya. Matanya memandangku penuh arti, seperti ada sesuatu yang ia ingin katakan. "Ke rumah pohon?" tawarnya tiba-tiba yang membuatku sedikit kaget. Padahal sedari tadi aku menunggu jawabannya, bukan tawaran.
Aku sendiri tidak mungkin menolak ajakan Devan.
Ia pun naik ke rumah pohon. Aku menyusulnya.
Pancaran sinar matahari yang aku tunggu tidak muncul juga. Apa hari ini akan hujan lagi? Mengapa seolah-olah semuanya begitu suram? Aku memang merasakan kesejukkan, tapi, mengapa kehangatan tidak menyertai?
Seperti posisi biasa ketika duduk di dalam rumah pohon, aku dan Devan duduk bersebelahan.
"Cha, enggak ada gue rasanya gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...