Author's note : Jadi gini, setelah gue pikir-pikir, kalo Febrian sama Febby pisah pas mau SD tapi sampe SMA mereka saling nunggu, kan keliatan aneh. Masalahnya umur TK itu masih kecil banget. Jadi akhirnya, gue putusin untuk; Febby dan Febrian pisah pas mereka mau SMP. Jadi, Febrian pindah ke Bandung pas mau 'SMP'. Dan untuk masalah cerita, akan gue revisi setelah cerita ini sampai pada bagian epilog. Maaf yang sebesar-besarnya ya hehehe.
◾◾◾
Azan maghrib membangunkan Rissa dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan matanya ketika tahu kalau ia masih berada di rumah sakit.
Rissa menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan nyawanya, dan ia tersadar bahwa dirinya masih memakai seragam sekolah. Memang tadi siang, sepulang sekolah, ia langsung ke rumah sakit ditemani dengan Febrian.
Mendadak Rissa membeku.
Febrian. Lalu pikirannya beralih pada saat Devan ingin berbicara dengan Febrian. Kedua laki-laki itu membahas apa? Jujur saja, Rissa sangat ingin tahu.
Tidak mau memikirkan itu lama-lama, akhirnya ia menatap Devan. Laki-laki itu tertidur dengan mata yang terpejam damai serta bibirnya yang sedikit tertarik ke atas—membentuk sebuah senyum tipis. Sepertinya Devan sedang bermimpi indah.
Tapi, wajahnya pucat.
Sangat pucat.
Rasa cemas merayap di diri Rissa. "Dev?" panggil Rissa lirih untuk memastikan.
"Devan—"
Ponselnya berdering.
Rissa segera bangkit untuk meraih ponselnya yang masih berada di dalam tas. Kebetulan ia meletakkan tas sekolahnya di sofa.
"Halo?" sapa Rissa membuka obrolan.
"Cha? Kamu di mana?" balasan dari sana terdengar begitu khawatir. "Jangan buat Bunda keki gara-gara mikirin kamu deh!"
Perempuan itu malah terkekeh. "Icha di rumah sakit Bun. Maaf ya, Icha gak sempet ngabarin."
"Pulang kapan? Kamu belum istirahat lho, Cha," ujar Bunda. "Devan gimana? Ada kemajuan?"
Mata Rissa memandangi Devan, senyum tipis terukir di wajahnya. "Kayaknya Devan semakin baik... ya... doain aja Bun." Rissa mengelah napasnya teramat panjang. "Bunda gak usah khawatir, Icha dari tadi tidur kok di sini, makanya gak sempet ngabarin Bunda. Icha juga udah makan siang."
"Oke, Bunda tunggu kamu di rumah ya."
Rissa mengangguk. "Iya."
"Kalau mau pulang, minta anter temen kamu, si Febrian itu," nadanya terdengar enteng. Pada akhir kata, si Bunda cekikikan. "Ya udah, Bunda duluan ya."
"Gak usah ngeledek deh, Bun," Rissa mendecakkan lidahnya. "Oke deh, assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Sambungan terputus. Saat itulah dirinya mulai merasakan aura yang berbeda. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan Rissa tidak enak. Ia ingin pulang ke rumah menemui bundanya, tetapi ia lebih ingin untuk tinggal lebih lama di sini menemani Devan hingga Mama datang.
Rissa bangkit dari sofa, lalu mendekatkan dirinya ke tempat tidur Devan. Mendudukkan dirinya di bangku, ia mengusapkan tangannya ke lengan Devan lembut.
"Masih capek ya, Dev?" Rissa melihat ke atap-atap. "Bangun dong, aku pingin ngobrol sama kamu."
Hening. Tidak ada tanda-tanda Devan akan bangun.
Rissa kembali membeku. Seketika detak jantungnya berhenti.
"Devan?" Rissa menggoyangkan lengan Devan pelan. Dan ketika itulah Rissa menyadari kalau dada Devan tidak ada pergerakan apapun. "Kamu pergi, Dev? Secepet itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...