Part 2 ; Adam Sawyer

353 20 1
                                    

"Hey, Em." Sapaku kepada Emily. Kami bertemu diparkiran ketika Ian memarkirkan ninja merahnya. Itu adalah hadiah ulang tahunnya beberapa bulan lalu.

"Gue ke kelas ya." Ucap Ian yang terlihat buru-buru. Kelasku dan Ian berbeda. Ia IPS sedangkan aku IPA. Sedikit menyedihkan karena tak dapat satu kelas dengannya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku. "Kell, gue ada basket pulang sekolah. Lo mau tungguin atau pulang sendiri?" Tanyanya.

"Pulang bareng aja." Jawabku. Ian adalah kapten basket di DHS (Dalton High School). Tak sedikit para gadis disini menontonnya saat latihan. Ian cukup terkenal di berbagai sekolah, karena ia sering mengikuti pertandingan antar sekolah.

"Lo udah bilang sama Davi?" Tanya Emily ketika kami berjalan di koridor untuk menuju ke kelas. Aku hanya menaikkan kedua bahuku. "Kenapa?" Tanyanya lagi.

Akhirnya aku menghela nafasku. "Em, dia lagi suka sama perempuan. Adik kelas gue waktu SMP. Kemarin dia bilang." Jelasku.

Emily merangkulku. "Tenang aja, Kay. Selama janur kuning belum melengkung, lo pasti bisa kok dapetin Davi. Lo kan sahabat dekatnya dia." Ujarnya. Aku hanya diam dan berharap.

***

Sambil menunggu Ian latihan dengan bola basketnya, aku berniat ke perpustakaan untuk meminjam novel fantasi tentang dewa-dewi yunani. Aku membuka-buka setiap halamannya. Sepertinya bagus. "Suka mitologi yunani?" Kata seseorang dari belakangku. Aku pun mencari sumber suara itu.

Ia adalah Adam Sawyer. Lelaki yang terkenal sangat kaya raya dan sangat nakal. Ia bahkan sering sekali pindah-pindah sekolah. Tapi entah mengapa banyak perempuan yang mengejar-ngejarnya. Bahkan Emily, ia sangat tergila-gila pada Adam. Memang sih Adam tak bisa dibilang jelek, tapi dia juga tak tampan dimataku. Ngomong-omong, dia adalah kakak kelasku.

"Um, sepertinya begitu." Jawabku.

Perhatiannya melirik ke buku yang sedang ku pegang. "Karya Rick Riordan?" Tanyanya lagi. Aku menganggukkan kepalaku. "Gue, Adam." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku.

"Kayla."

"Lo kelas berapa? Jarang keliatan deh kayaknya."

"Kelas 11 IPA. Gue emang jarang keluar."

Dia mengangguk-anggukan kepalanya. "Lo nggak pulang? Ini kan udah jam 2." Ucapnya sambil melihat ke arah arloji hitamnya.

"Gue masih nunggu temen gue. Dia lagi main basket."

"Siapa? Bobby? Elliot? Willy? Keanu? atau Davi?" Tanyanya yang sepertinya hafal semua nama pemain basket DHS.

"Ian." Ia melihat ku heran. Aku lupa kalau hanya aku saja yang menyebutnya Ian. "Maksud gue, Davi. Karena namanya Davian, jadi gue panggil Ian."

Dia mengangguk mengerti. "Lo teman atau pacarnya?"

Berharap jadi pacarnya, iya. "Kita cuma temen aja." Jawabku.

"Kelly! Ayo pulang." Ajak Ian yang tiba-tiba muncul dari pintu. Ia hanya menunjukan kepalanya dengan rambut yang dibasahi keringat.

"Gue balik dulu ya." Pamitku pada Adam. Dia mengangguk tersenyum. Aku mengembalikan buku itu ke rak yang tadi.

Akhirnya aku berjalan keparkiran bersama Ian. Ia memberikan helm padaku. Ian tampak berbeda, ia diam saja. Biasanya dia sangat bawel tentang latihan basketnya. "Ian." Panggilku ketika kami sedang berjalan pulang.

"Apa?"

"Gimana latihan tadi?"

"Nggak gimana-gimana." Jawabnya. "Gimana ngobrol sama Adam tadi?" Tanyanya dengan nada yang sedikit kesal.

"Cuma kenalan doang. Kenapa? Cemburu ya?" Godaku dengan harapan ia menjawab 'iya.'

"Gue nggak suka aja sama Adam. Lo lupa dia pernah ngajak gue berantem dulu?" Aku diam. Mereka memang sempat bertengkar hanya karena satu perempuan. Jennifer Pierce. Permpuan itu memang sangat cantik, langsing, seksi. Tapi itu bukan berarti wanita di dunia ini hanya satu saja kan? Lelaki memang bodoh.

Akhirnya aku kembali ke rumahku ketika Ian memarkirkan motornya di garasi. Mama sepertinya sedang sibuk dengan telepon genggamnya. "Sayang." Sapanya ketika aku beriniat masuk ke kamar. "Ya udah ya, Kay udah pulang. Iya, aku bilangin ke dia sekarang. oke, dah." Ucapnya dengan seseorang di sebrang sambungan.

"Siapa?" Tanyaku.

Mama seperti berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku. "Papa kamu."

Aku cukup terkejut mendengarnya. "Papa siapa? Aku nggak pernah punya papa." Aku tersenyum dan masuk ke kamar. Aku tak sudi memanggilnya 'Papa'. Maksudku, ke mana dia selama 17 tahun ini? Ke mana dia ketika aku membutuhkan sosok seorang ayah? Ke mana dia ketika acara-acara yang penting dalam hidupku? Ke mana dia ketika ia harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah yang memberi nafkah pada keluarganya? Dia bukan ayah, dia adalah pengecut.

Mama mengetuk pintuku dari luar. "Kay, kamu nggak boleh gitu. Bagaimana pun, ia tetap Papa kamu. Dia baik loh, mau menjalin silaturahmi sama kita lagi." Jelas mama dari balik pintu. Aku tak peduli dengan setiap kata yang mama ucapkan.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang