Part 22; After

151 13 0
                                    

Hope you like the cover ;)
-------------

"Kita mau kemana sih?" Tanyaku yang penasaran. Adam menutup mataku dengan sapu tangannya. Aku sama sekali tak bisa melihat apa pun.

"Udah, ikutin aku aja."

"Dam, awas ya kalau sampai aku jatuh." Ucapku. Dia hanya tertawa.

"Kamu siap?" Tanyanya. Aku pun mengangguk. "Satu." Ia mulai membuka ikatanku. "Dua." Ikatan mulai terasa longgar. "Tiga!" Aku membuka mataku.

Astaga. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Ini adalah danau yang pernah kami kunjungi dulu. Hanya saja Adam menyulapnya jadi bagus sekali, dengan meja dan dua kursi dipinggir danau dan lampu-lampu yang menyala seperti kunang-kunang. Ada 3 orang juga yang memainkan musik. "Adam. Ini bagus banget."

"Nggak terasa ya udah 2 bulan. Kamu ingat tempat ini, kan? Ini tempat pertama kita nge-date. Aku bilang, aku mau ajak Jenny ke sini, padahal itu nggak bener. Aku emang maunya kamu yang aku ajak ke sini. Maaf ya aku bohong waktu itu. Aku malu." Jelasnya.

Aku mengangguk. "Nggak apa-apa. Ini
udah bagus banget."

Adam menarik kursi dan membiarkan aku duduk. Setelah itu, ia duduk dihadapanku. Diatas meja sudah ada hidangan cantik yang benar-benar menggoda iman.

Adam mengeluarkan ponselnya. Dia berposisi seperti mau mengambil gambar atas diriku. "Adam, jangan!" Ucapku.

"Yah, terlanjur." Ia tertawa. "Aku mau masukin Instagram. Masa punya pacar nggak di pamerin?"

Aku tersenyum padanya.

Tak terasa kami sudah menjalin hubungan selama 2 bulan. Kami masih baik-baik saja selama 2 bulan terakhir ini. Ia sering menjemput dan mengantarku ke sekolah. Aku selalu bersyukur ada didekatnya selalu.

Ray tak pernah menerima kenyataan kalau aku pacaran dengan Adam. Sudah beberapa minggu ini aku tak mendengar kabarnya. Biasanya dia mengirimku pesan setiap saat.

Entah mengapa ada rasa bersalah menolaknya. Namun, aku juga memiliki hak untuk memilih, kan?

Ian dan Adam kini bersahabat karena aku memaksa mereka. Awalnya memang canggung. Namun semakin lama bertemu, mereka jadi akrab.

"Aku sayang kamu, Kay." Ucapnya.

"Ya, aku tau kok, Dam." Kataku sambil tersenyum.

"Kenapa?"

"Maksudnya?" Tanyaku lagi. Tapi ia enggan menjawabnya. Ia justru melanjutkan santapannya. Aku pun memilih untuk diam.

"Besok aku pergi ke New York. Aku mau antar mama. Mungkin seminggu. Nggak apa-apa kan?"

"Ya, nggak apa-apa lah. Justru aku seneng kamu ada waktu sama mama kamu." Kataku.

Adam menghela nafas. "Aku yang nggak bisa tinggalin kamu. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana?"

Aku menaikkan salah satu alisku. "Really? Kamu kira aku bayi? Lagi pula, kan ada Ian yang nemenin aku." Ucapku.

Ngomong-omong, Ian kini mempunyai pacar. Ian sama sekali tak memberi tauku siapa pacarnya sekarang. Tapi ia bilang padaku kalau suatu hari nanti aku akan tau. Tapi entah kapan itu.

"Hmm, iyaa deh. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari HP kamu ya?" Aku mengangguk pasti.

"Kay, aku akan suruh Norman antar-jemput kamu, selagi aku di luar."

"Aku ada mobil kok, Dam."

"Aku tau, tapi aku nggak mau kamu menyetir sendiri." Ucapnya. Aku memilih untuk diam. "Kamu seneng nggak sih, Kay?"

Aku mengangguk pasti. "Iya, aku seneng kok. Kenapa harus engga?"

Adam menaikkan kedua bahunya. "Tapi kamu kayak bad mood gitu."

Aku menggeleng dan tersenyum. "Enggak kok. Makasih banyak ya, Dam." Ucapku.

Tiba-tiba teleponku yang berada diatas meja berdering. Aku pun melihatnya. Ternyata telepon dari Ray. Aku berniat mengambilnya, tapi dengan cepat tangan Adam mengambil ponselku terlebih dahulu.

Dia mengangkatnya sambil melihatku. Aku tak berani melihat wajahnya sekarang. "Lo jauh-jauh dari pacar gue." Ucapnya. Lalu ia mematikan telepon tersebut.

"Dam.."

"Kamu masih berhubungan sama dia?"

"Udah engga."

"Terus kenapa dia masih telepon kamu?"

"Ya, mana aku tau. Mungkin penting. Kan nggak ada yang tau, Dam."

"Kepentingan dia cuma satu. Merebut kamu dari aku."

"Aku kan pacar kamu sekarang. Apa yang harus kamu takutin?"

"A..aku.. Aku takut kamu pergi tinggalin aku karena dia." Adam menundukan kepalanya.

Aku menghela nafasku. "Adam, berhenti berpikir kayak anak kecil. Kita lupain Ray. Ya?"

Adam mengangguk.

Malam berjalan dengan sangat canggung. Bukan malam seperti ini yang aku harapkan. Aneh saja rasanya.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang