Part 10; Kelly to Kayla

193 19 0
                                    

Hari berjalan begitu berbeda. Aku dan Adam menjadi saling diam tanpa tegur sapa bila bertemu di sekolah. Untung mama sedang libur kerja selama beberapa bulan, sehingga aku bisa memakai mobilnya untuk ke sekolah.

Ian dan Jenny terlihat semakin dekat. Rasanya semakin ingin cepat-cepat lulus agar tak melihat mereka berdua lagi.

"Lo kenapa sih, Kay?" Tanya Emily ketika ia sedang mengunyah makanannya.

"Enggak apa-apa."

"Lo setiap ditanya, jawabnya itu terus. Udah seminggu lo kayak gini. Diem terus. Cowok nggak cuma Adam aja kok, Kay."

"Iya, ada Ian. Tapi dia lebih pilih Jenny dari pada gue." Ucapku. Emily tak bicara apa pun setelah itu. Aku pun tak tau mengapa aku begini.

Aku menatap jendela. Diluar sedang hujan lebat. Membuatku memeluk diriku sendiri. Aku rindu Ian ketika kami bermain bersama dibawah hujan. Aku ingat waktu itu aku terjatuh ketika bermain bola. Dagu dan lututku berdarah. Aku menangis dan Ian panik melihat darahku sehingga ia juga ikut menangis. Lalu menggendongku pulang. Astaga, aku bahkan tak tau Ian masih mengingat itu atau tidak.

"Kay, lo pulang bareng gue ya?" Tanya Ian yang tiba-tiba datang dari belakangku. Aku dan Emily saling manatap satu sama lain.

"Umm. Gue bawa mobil sendiri."

"Iya, gue tau. Gue tinggal motor gue di sekolah kok. Besok gue ambil."

"Jenny?"

"Dah!" Ia langsung pergi meninggalkan ku dan Emily. Sepertinya ada kabar baru.

***

Aku tak biasa gugup begini disebelah Ian. Ia menyetir dengan tatapan lurus ke jalanan. Otak itu sepertinya sedang bekerja dengan keras. Memikirkan suatu hal yang tak dapat ku tau. Aku tak bisa menunggunya untuk bercerita. "Ada apa?" Tanyaku.

"Jenny. Dia punya pacar baru lagi." Aku tak terkejut lagi karena itu pasti Adam.

"Adam?"

"Brian."

"Bukan Adam?" Aku cukup terkejut mendengar ini. Ian menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"

"Kenapa nggak tanya Adam?"

Aku diam. Bukankah seharusnya Adam berjuang untuk Jenny? Kenapa jadi Brian? Aku bahkan tak tau siapa itu Brian. Semua ini membingungkan. Tapi aku juga cukup senang. Itu artinya aku dan Ian bisa kembali seperti dulu.

"Lo kenapa putus sama Adam?" Tanyanya. Dan ini adalah keseribu kalinya Ian bertanya tentang ini. Jawaban ku selalu sama.

"Kita nggak cocok, Ian. Ini kesekian kalinya lo nanya hal yang sama."

"Karena gue tau alasannya bukan itu." Ternyata dia memiliki indra ke-6. Semua selesai karena aku tau tak akan ada yang berhasil diantara kita.

"Emang itu satu-satunya alasan, Ian. Apa yang lo harapin?"

Ian mengankat kedua bahunya. "Kenapa setelah lo putus dari Adam, gue sama Jenny juga putus? Ini semua kayak udah direncanakan."

Jantungku berdegup kencang. Aku memang merencakan drama ini dengan Adam. Tapi aku tak pernah merencanakan kalau Ian dan Jenny putus. "Ya, mungkin semua kebetulan aja kali. Lo jangan lebay gitu, ah." Ucapku. Ian diam tanpa kata. Begitu juga aku.

"Kenapa ya dia tega mengkhianati gue?" Ucapnya dengan pandangan yang masih lurus ke jalan.

Aku menaikkan kedua bahuku lalu menjatuhkannya. "Lo kayak nggak tau Jenny aja. Dia kan piala bergilir." Ucapku sembari tertawa.

"Kayla! Lo nggak seharusnya bilang Jenny kayak gitu." Untuk pertama kali dalam hidupku dia memanggilku 'Kayla'. "Enggak ada yang sempurna di dunia ini. Terutama Jenny."

Sekarang aku yakin dia benar-benar menyayangi Jenny. "Maafin gue, Ian. Gue cuma nggak mau lo sedih karena Jenny. Itu aja."

"Nggak gitu caranya, Kay." Aku benar-benar merasakan perubahan yang ada didalam diri Ian. Aku akhirnya tertawa pahit. "Kenapa?" Tanyanya.

"Enggak. Rasanya aneh aja lo panggil gue 'Kayla'. Dan mungkin gue sekarang harus panggil lo 'Davi'. Dan setelah lo melangkah keluar dari mobil gue, kita akan jadi orang asing hanya karena satu orang."

"Kell..." 

"Jangan panggil gue Kelly lagi. Nama gue Kayla." Ucapku menahan semua tangisku. 

Akhirnya kami sampai rumah. Ian memarkirkan mobilku ke garasi. Kita diam sejenak. "Kell, gue mau minta maaf. Nggak seharusnya gue bentak lo kayak tadi."

"Dav, kita udah sampai rumah. Lo mending pulang ke rumah lo, dan gue pulang ke rumah gue." Aneh sekali mulut ini mengucapkan namanya dengan 'Davi'.

"Lo bener. Nggak seharusnya kita kayak gini karena satu orang."

Aku benar-benar tak mau membahas ini. Aku akhirnya keluar dari mobil tanpa bicara apapun. Ian tetap di dalam mobil. "Lo nggak keluar?" Tanyaku.

"Gue nggak mau melangkah keluar dan jadi orang asing, Kell." Aku menahan tawaku. "Gue nggak mau kehilangan sahabat kayak lo."

Tapi sayangnya dia baru saja kehilanganku. "Gue nggak tau, Davi. Semua jadi... jadi beda dimata gue. Sekarang lo keluar dari mobil gue deh." Ucapku. Ia langsung mematikan mesin dan keluar dari mobil.

Aku akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Ian memutuskan untuk kembali ke rumahnya juga. Aku merasa telah menjalankan hari yang sangat berat akhir-akhir ini. Jarakku dengan Adam sudah cukup menciptakan suasana canggung di sekolah. Dan kini, aku dan Ian harus merasakan kecanggungan itu juga? Astaga.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang