"Ian, Sabtu ini jadi nonton nggak?" Tanyaku sambil melihat Ian memainkan video game di kamarnya. Minggu lalu ia janji akan mengajakku menonton film di bioskop. Dia sepertinya tak peduli dengan pertanyaanku tadi. Dia akan lupa segala hal jika sudah bermain, hanya satu yang ia tak akan pernah lupa. Makan.
Setelah kalah bermain dan ia terlihat seperti mengutuk dirinya sendiri ia baru peduli padaku. "Apa lo bilang tadi?" Tanyanya.
Aku menghembuskan nafasku dengan kesal. "Sabtu ini jadi nonton nggak?" Tanyaku lagi.
Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Ng.... Hehe... Gue mau jalan sama Gabby, Kell." Aku diam dan melanjutkan membaca majalah yang dari tadi menemaniku selagi ia asik dengan video game-nya. Minggu lalu tertunda karena alasan yang sama namun berbeda wanita.
"Gue jalan sama Adam aja deh." Ucapku tiba-tiba. Aku pun tak tau mengapa aku mengeluarkan kalimat itu.
"Adam?" Tanyanya lagi untuk memastikan. Aku hanya mengangguk. "Jalan sama siapa aja deh. Asal jangan sama Adam." Ucapnya kesal. Aku pun kesal. Dia bisa bebas pergi dengan siapa saja, sedangkan aku? Ih!
"Masalah lo ya masalah lo. Gue kan nggak ada masalah apa-apa sama Adam."
"Tapi Kell, Adam itu bukan cowok baik-baik. Dia itu banyak mainin hati perempuan, banyak banget perempuan yang udah dia sakitin, yang dia ajak tidur terus di tinggal. Dia itu berengsek." Jelasnya.
"Terus apa bedanya sama lo? Lo kan juga suka mainin hati perempuan, meski pun belum pernah tidurin perempuan dan tinggalin gitu aja."
"Beda lah. Gue nggak mungkin menyakiti atau memainkan hati lo." Ujarnya. Tapi aku rasa dia salah besar. Dia sudah menggoreskan luka di hatiku ketika ia pacaran untuk pertama kalinya. Ingin sekali aku marah saat itu, tapi aku sama sekali tak berhak. Jadi yang bisa ku lakukan hanya diam. Diam. Diam.
"Bilang aja lo cemburu." Ucapku enteng.
Dia pun tertawa kecut. "Mau banget ya gue cemburu?"
"Mau lah. Seneng kali bisa di cemburuin sama kapten basket DHS." Ucapku di barengi dengan tawa agar ia kira aku bergurau. Padahal, jauh di dalam hatiku. Aku serius. Ia mendekatiku dan menjitak kepalaku. "Aw! Sakit, Ian." Aku merengek kesal.
Dia melanjutkan game-nya lagi. "Lo kenapa sih nggak punya pacar?" Karena gue tungguin lo, kampret!
"Nggak ah. Gue nggak mau ribet sama urusan pacar, beratin pikiran."
"Kalau jadi pacar gue gimana?" Tanyanya yang hampir membuat jantungku berhenti. Aku bersyukur matanya sedang memandang video game-nya, kalau tidak ia pasti akan melihat wajah terkejutku saat ini.
Aku tertawa garing. "Ada-ada aja lo. Gabby mau lo bawa ke mana?"
"Ya udah, lo jadi selingkuhan gue aja."
"Dih, nggak mau. Gue nggak sehina itu." Kenapa ya susah sekali menjadi satu-satunya untuk Ian? Kenapa menyukai Ian harus sesakit ini?
***
Seperti biasa, setiap hari Sabtu tak pernah ada pelajaran. Melainkan mendapat jam ekstra kulikuler masing-masing. Aku memilih ekstra melukis, karena itu yang paling mudah. Selain itu aku juga suka melukis.
Hari ini aku berangkat sekolah sendiri menggunakan bus umum. Ini karena Ian pergi menjemput Gabby. Ya, aku sudah terbiasa terlantar seperti ini.
Aku duduk di perpustakaan sambil membalik-balik halaman novel fantasi ini. Aku suka sekali denga cerita didalamnya. Tidak masuk akal memang, tapi karena aku ini suka sekali mengkhayal jadi menurutku ini adalah buku yang tepat.
"Pak, saya mau pinjam buku ini." Izin ku pada penjaga perpustakaan. Ia lalu memberiku kartu tanda peminjaman buku. Agar tau kalau aku meminjam buku tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chosen
Teen Fiction[COMPLETED] Hey, aku Kayla Kingsley. Aku adalah perempuan biasa yang mengharapkan cintanya dibalas oleh sahabat baiknya sejak kami TK. Aku hidup terbiasa tanpa seorang ayah yang menemani hari-hariku selama 17 tahun. Davian Kennedy adalah sahabat yan...