Part 4 ; New Drama

264 20 1
                                    

Akhir-akhir ini Adam selalu mencariku ke kelas. Entah hanya untuk mengobrol atau mengajak makan di kantin. Semua perhatian itu menjadi milikku. Padahal aku sama sekali belum menyetujui bahwa aku mau ikut dalam pembalasan dendamnya. Ian memang kesal ketika Adam mendatangiku beberapa kali, tapi itu tak menandakan kalau ia cemburu, kan?

"Gabby apa kabar?" Tanyaku untuk basa-basi saat kami sedang menonton Antman di rumahku. Malam ini ia menemaniku. Karena mama mendapat bagian malam.

"Nggak tau. Nggak peduli."

"Loh, kenapa?"

"Gue cuma di anggap teman."

"Sama dong?" Eh! Aku keceplosan.

"Maksud lo, si Adam cuma anggap lo teman? Padahal kalian udah dekat gitu?" Tanyanya. Aku kira dia pintar. Padahal maksudku itu kan untuknya.

"Um, ya.. engga sih. Gue sama Adam emang cuma teman biasa."

Akhirnya suasana hening lagi. Aku memperhatikan Ian yang sedang asik menonton. Aku selalu suka dengan mata itu. Ditambah dengan bulu mata yang lentik dan alis yang tebal.

Acara akhirnya habis. "Gue mau ngomong jujur sama lo." Ucap Ian. Jantungku hampir berhenti berdetak. Kenapa sih dia senang sekali membuat aku jantungan?

"Apa? Serius banget." Tanyaku berusaha santai.

"Gue balikan sama Jennifer." Aku diam. Aku sudah terbiasa pura-pura tak tersakiti seperti ini. "Ini kejadiannya hari minggu. Jadi, sekitar tiga hari yang lalu."

"Bagian 'wow'nya dimana?" Tanyaku yang masih mencoba biasa. Padahal hati ini sudah memaki diriku karena tak pernah bisa jujur padanya.

"Lo mau tau?" Aku mengangguk. "Gue tidur sama dia." Boom! Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku dengar. Padahal aku selalu berharap aku adalah semua hal pertama yang ada di hidupnya. Seperti dia.

Aku tak dapat menahan air mataku lagi. Dengan cepat aku pura-pura menguap. "Gue ngantuk. Lanjut besok aja ngobrolnya."

Dia tampak bingung. "Ini kan baru jam 10."

"Gue capek, Ian. Lagi pula besok kan harus sekolah pagi."

"Lo sekolah bareng gue kan?"

Aku menggeleng. "Gue bareng Adam. Pintu keluarnya ada disebelah sana." Aku menunjuk arah pintu.

Setelah terdengar ia pergi aku akhirnya menangis sejadi-jadinya. Kenapa semua ini nggak adil? Ian sama sekali tak pernah menganggapku lebih dari teman.

Aku menghapus air mataku dan mengambil ponselku. Mengirim pesan pada Adam kalau besok memintanya untuk menjemputku. Aku akan menyetujui penawarannya.

***

"Pagi." Sapaku ketika memasuki mobil mewahnya.

"Pagi. Mata lo sembab banget, Kay." Dengan segera aku merapa mataku. "Habis nangis?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Gue kurang tidur aja." Setelah itu ia tak banyak bicara lagi.

Ponsel ku tiba-tiba berdering.  Aku pun mencari ponselku didalam tas. Ketika aku melihat layar, terdapat nomor yang tak dapat ku kenali. "Halo?"

"Kayla." Ucapnya dari sebrang. Suaranya berat, seperti bapak-bapak.

"Siapa ya?"

"Ini papa."Deg! Aku sama sekali belum pernah mendengar suaranya. Baru sekarang. "Begini Kay, papa mau--"

"Maaf, pak. Bapak salah sambung. Saya nggak punya papa." Beep! Sambungan terputus. Terlihat dari ujung mata Adam memperhatikan ku.

"Siapa, Kay?"

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang