Part 7 ; Not That Bad.

247 16 0
                                    

Sepulang sekolah aku memutuskan untuk mengurung diriku di kamar. Mendengarkan lagu-lagu yang ada di playlist-ku. "Kamu nggak keluar, Kay?" Tanya mama. Apa mama serius dengan pertanyaannya? Label di kulkas itu apa?

"Mama kan hukum aku." Aku mengingatkannya.

"Hukum..." Ia mencoba mengingat-ingat lagi. "Oh, mama cuma mau kelihatan tegas didepan papa kamu. Ngomong-omong soal hukuman, kamu memang bebas, tapi mama butuh ngomong sama kamu tentang tata krama."

"Iya." Ucapku sambil mematikan lagu yang sedang ku putar.

"Kayla, kamu kira kamu dapat nama belakang kamu dari siapa? Kamu kira kamu di dunia ini itu karena siapa? Papa kamu kan? Sekejam apa pun dia di masa lalu, dia tetap papa kamu. Sama siapa pun, Kay. Kamu harus bicara yang sopan. Dimana pun kamu kerja atau dimana pun kamu berada tanggapan orang pertama kali adalah sikap kamu. Jadi jaga sikap."

"Iya, ma."

"Kamu minta maaf sama papa kamu."

"Tapi ma—"

"Nggak ada tapi, Kay. Ambil ponsel kamu, hubungi dia segera." Perintah mama. Ia langsung keluar dan menutup pintu kamarku.

Aku akhirnya menuruti perintahnya sebelum mama semakin marah. Bisa dosa dunia-akhirat kalau mama marahnya meledak-ledak.

@Me : Hey, um, maaf tentang sebelumnya. Aku kasar.

sent!

Ku kirim pesan singkat yang ku harap ia balasnya nanti. Aku mendengarkan lagu Love Yourself - Justine Bieber. Aku suka lirik dan musiknya.

***

Aku sama sekali tak sadar aku tertidur. Ketika melihat jendela langit sudah gelap. Berapa jam aku tertidur?

Aku keluar kamar untuk mencari makan, perutku kosong. Aku melihat ke jam dinding di ruang tamu. INI SUDAH JAM 5 PAGI?! Jadi sedari kemarin aku tertidur dan belum mandi?

Setelah mandi aku bersiap-siap ke sekolah. Tak ada Adam yang mengantar atau menjemputku lagi. Aku masih sangat-sangat kesal padanya. Meski pun ini hanya drama, tapi pelampiasan nafsu bukan ide yang bagus.

Aku memutuskan untuk naik transport umum. Lebih baik begini. Tiba-tiba aku mendengar suara klakson mobil dari belakang. Porche hitam. Siapa lagi kalau bukan milik Adam. "Kay!" Panggilnya. Aku tak peduli dan terus berjalan. Terdengar langkah kakinya dan ia berhasil menarikku.

"Apa sih Dam?" Aku membalikan badanku. Ada memar ungu di sudut bibirnya dan sedikit bengkak.

"Gue perlu ngomong."

"Lo kenapa?" Tanyaku mulai panik. Aku berniat menyentuh wajahnya, namun dengan kasar ia menepis tanganku.

"Maaf. Gue nggak suka disentuh." Ucapnya. "Gue mau minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu. Gue tau gue salah."

Aku masih menatap memar itu. "Lo kenapa, Dam?" Tanyaku lagi. Tapi dia menggeleng. Menolak untuk bercerita. "Gue nggak akan maafin lo kalau lo nggak cerita sama gue."

"Ya udah, sambil jalan ke sekolah aja, gimana?" Aku mengangguk setuju.

Pukul menunjukan jam 7.01 pagi. Jalanan belum ramai. "Jadi gimana?"

Adam menghela nafas panjang. "Ini masalah bokap gue. Dia marah sama gue karena gue nggak mau melanjutkan bisnisnya. Jadi dia pukul gue."

"Dam..." Ucapku penuh simpatik.

"Enggak apa-apa. Ini salah gue sih. Seharusnya gue mau melanjutkan bisnisnya untuk masa depan lebih baik dan mengubur mimpi gue jadi pilot." Aku tak menyangka kalau ternyata hidup Adam tak seenak yang aku bayangkan.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang