Part 25; Dark Side

163 12 0
                                    

"Halo?" Ucapku ketika mengangkat telepon Adam.

"Kemarin malam kamu kemana?"

Aku diam sejenak dan mengingat-ingat lagi. Oh, aku ke apartemen Ray. "A..Aku di rumah aja."

Adam menghela nafas. "Aku mau banget percaya sama kamu, Kay. Sekali lagi aku tanya, kamu kemana?"

Aku diam lagi beberapa saat. "Ke apartemen temen."Jawabku.

"Siapa namanya?"

Aku menghela nafas berat. "Adam, kamu taukan? Aku bukan penjahat yang harus kamu awasin terus."

"Iya, kamu memang bukan penjahat. Kamu pacar aku, dan aku berhak tau kamu ke apartemen siapa?"

Aku menghela nafas yang cukup panjang. "Untuk apa bertanya sesuatu kalau kamu udah tau jawabannya?"

"Kenapa sih kamu ke sana, Kay? Kamu kan pacar aku. Aku bener-bener cemburu disini. Aku nggak tau harus apa ketika tau kamu keluar sama dia. Apa lagi, aku nggak bisa bayangin apa yang kamu lakuin di belakang aku dengan Ray."

"Dam, aku tuh nggak--" Tiba-tiba aku mengingat malam itu, aku hampir khilaf dengannya. "Nggak melakukan apa pun. Kita cuma nonton." Jelasku.

"Kamu tau kan aku sayang kamu?"

Aku mengangguk. Lalu sadar kalau dia tak melihatku. "Iya, tau."

"Sekarang aku tanya, Kay. Setiap aku bilang aku sayang kamu. Kamu nggak pernah sama sekali balas ucapan aku."

Aku baru sadar. Ia begitu memperhatikan hal yang sangat kecil. "Menurut aku, aku nggak harus bilang aku sayang kamu juga, Dam. Nggak semua harus terucapkan di mulut, kan?"

"Itu emang kalimat yang sangat sederhana, Kay. Tapi berarti besar buat aku. Aku tanya deh sekarang, kamu sayang nggak sama aku?" Aku diam beberapa detik.
"Kamu harus berpikir lagi untuk jawab itu?"

"Dam.."

"Aku ngerti sekarang kenapa kamu mau jalan sama Ray. Yang nggak aku ngerti, kenapa kamu bisa bohongin aku dan perasaan kamu sendiri selama ini?"

Entah kenapa kalimat itu menusukku. Ini seperti tekanan. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. "Adam, maaf aku nggak pernah bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Maaf kalau sekarang kamu udah nggak percaya sama aku. A..aku mau bilang ke kamu kalau aku mau pergi sama Ray. Tapi dengan semua penjagaan kamu, aku takut bilang. Karena kamu pasti marah."

"Ya, mau kamu bilang atau engga, aku pasti marah, Kay. Kamu nggak tau seberapa cemburunya aku? Rasanya mending mati dari pada menebak-nebak apa yang kalian lakuin dibelakang aku."

Tiba-tiba seseorang membuka kamarku. Mama. Mama berbisik kenapa padaku, tapi aku hanya menggeleng. Mama lalu keluar dari kamar.

"Aku minta maaf, Dam. Mungkin aku emang nggak pantes buat kamu."

"Apa? Enggak. Kalau itu artinya kita harus berakhir, aku nggak mau. Kay, aku sayang banget sama kamu. Aku cuma mau tau aja, kalau kamu juga sayang sama aku. Maaf, mungkin aku terlalu kasar sama kamu."

Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Kita saling memperbaiki diri kita masing-masing, Dam. Sama-sama memaafkan aja."

"Aku sayang kamu, Kay. Jangan tinggalin aku."

"A..aku juga sayang kamu, Dam."

***

Aku menunggu Norman sepulang sekolah. Seperti biasa. "Kay?" Teriak seseorang dari kejauhan. Aku mencari sumber suara tersebut. Ternyata Ray sedang berdiri dan melambaikan tangannya.

Aku melihat kanan dan kiri, memastikan Norman belum tiba. Lalu setelah merasa aman, aku menghampirinya. "Hey, Ray. Lo beneran nekat, ya?" Ucapku.

"Gue nggak bisa jauh-jauh dari lo." Ucapnya. "Lo mau pulang bareng gue nggak, Kay?" Tanyanya.

Aku berpikir sejenak. Bagaimana kalau Norman tau dan akan melaporkan kepada Adam? Seperti malam itu. "Umm, gue nggak tau, Ray. Lo masih ingat kejadian waktu malam itu kan?"

Ray mengangguk. "Lo kenapa sih mau jadi pacarnya, Kay? Lo nggak bebas kan?"

Aku diam. Ray benar, aku sama sekali tak bebas selama berpacaran dengan Adam. "Ng.... Mungkin menurut Adam itu yang terbaik buat gue, Ray."

"Kay.." Dia memegang kedua bahuku. "Kalau lo putus sama Adam dan lo pilih gue, gue janji akan bikin lo lebih bahagia."

"Ray, buka mata lo. Semua itu nggak segampang yang lo bilang tadi."

Ray melepaskan tangannya dari pundakku. Ia menunduk kecewa. "Tapi gue sayang sama lo, Kay."

Aku diam sejenak. "Ray, gue minta maaf."

"What for?"

"I wasn't there to catch you when you fall."

Setelah mendengar kalimatku, dia memelukku erat. Seperti tak mau kehilangan. Aku pun memeluknya kembali, dan menangis. Aku rasa aku tau apa perasaan apa yang aku rasa padanya. Rasa yang tak mau kehilangan juga.

"Kay!" Panggil seseorang dari belakang. Ketika aku menoleh, ternyata Adam. Tampangnya sama sekali tak menggambarkan suasana hati yang baik. Jantungku kini berdegup sangat kencang.

Ia datang dengan buru-buru, lalu melayangkan kepalan tangan ke wajah Ray.

"Adam!" Teriakku.

"Gue udah bilang ke elo, jauh-jauh dari pacar gue!" Sekali lagi pukulan itu melayang ke pipinya.

"Dam! Berhenti!" Teriakku.

"Minggir." Ucapnya padaku. "Lo masih bisa ngerti bahasa gue, Kan?" Ia berniat melayangkan pukulan ketiga pada Ray. Tapi aku segera menghalanginya. Sehingga, Buk! Ia berhasil memukul wajahku.

Gelap. Gelap. Gelap.

-------------

Will publish it soon!

Keep voting guysss!

Love you xoxo

-Chacha roslan

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang