Part 6; The Jerkies

230 15 0
                                    

Beberapa hari ini aku berusaha melupakan apa yang terjadi tentang aku dan Ian. Tak ada yang biasa saja diantara kita setelah malam itu. Aku menceritakan kejadian itu pada Adam dan Emily. Kini, seakan-akan Ian hanyalah seseorang yang baru aku kenal kemarin. Semua bisa berubah dalam sekejap. Aku harap aku bisa mengulang waktu dan tak mau ciuman dengannya. Karena, semua hanya lah permainan.

"Babe, you okay?" Tanya Adam yang memecah lamunanku. Kami sedang makan siang di salah satu restauran milik Ayahnya.

"Umm, iya." No! I'm so far away from okay.

"Kayaknya engga. Lo pucat." Ia langsung meraba keningku.

"Gue nggak kenapa-kenapa, Ian." Ugh! Nama Ian selalu menari-nari di otakku. "Dam, maksud gue Dam."

Adam tampaknya sama sekali tak peduli pada panggilan ku tadi. Jelas saja, dia tak benar-benar menyukaiku. "Gue antar lo ke dokter, badan lo panas."

Aku menggeleng. "Makasih, Dam. Gue cuma butuh istirahat aja." Ucapku.

Seketika getaran ponsel disaku celanaku terasa. Aku mengambilnya dan nama Ian beserta fotonya muncul dilayar. "Halo?"

"Kelly, kita butuh bicara."

"Nggak." Beep. Aku langsung mematikan sambungan. Ponselku berdering untuk kedua kalinya. Tanpa melihat layar aku sudah tau kalau itu Ian. "Ian, sekalinya enggak ya enggak."

"Wow, Ini papa Kay. Papa lagi di rumah nih, kamu kapan pulang?"

"Tahun depan!" Teriakku. Aku mematikan dan tak sengaja membanting teleponku ke meja. Dengan segera aku mengambil ponselku kembali. Ya, aku bodoh.

Adam menatapku heran. "Davi?"

"Pertama iya, kedua aku harap iya."

Dia tertawa. "Siapa?"

"Hans."

Ia memberi tatapan heran lagi padaku. "Lo punya cowok lagi?" Tanyanya sambil melahap Steak yang ia pesan.

"Mantan suami mama." Jawabku. Mulutnya membentuk huruf 'o'.

"Kenapa lo sebut dia pakai namanya?"

Aku tertawa pahit. "Setelah 17 tahun nggak ada kabar, tinggalin gue sama mama, menikah lagi, apa dia pantas di panggil 'Ayah'?"

"Dia tetap ayah, kan? Babe, don't be so rude. Gue tau lo benci sama bokap lo, tapi bagaimana pun lo tetap anak biologisnya. Lo kira gue nggak benci bokap gue? Tapi gue akhirnya ingat satu hal, kalau nggak ada dia, mungkin lo nggak akan liat betapa tampannya gue." Ya, itu Adam. Baru saja aku mau mengatakan bahwa aku tak mengenalnya karena betapa bijaknya dia. Tapi ternyata, hmmm...

Aku mengangkat kedua bahuku. "Gue nggak tau, Dam. Susah untuk panggil dia 'Papa' lagi."

"Awalnya emang begitu, Kay. Percaya sama gue."

"Lo nggak ngerti apa-apa, Dam. Nggak ada yang ngerti." Ucapku semakin kesal.

Adam berdeham, dan menatapku seakan ia mengerti. "Gue ngerti, ngerti banget banget malah. Karena—"

Aku menunggu ia menyelesaikan kalimatnya. "Karena?"

"Ini bukan tentang gue. Ini tentang lo. Mungkin dia menyesal sekarang. Mungkin dia udah sadar dan mau memperbaiki apa yang udah dia rusak."

Mungkin Adam benar. Tapi tetap saja masih ada kemarahan yang menggebu dihati ini. Kemarahan yang belum terlampiaskan. "Ayo, gue antar lo pulang." Ajaknya.

***

Aku tau ini akan berjalan sangat canggung. Adam telah berjanji menemaniku hingga Hans pergi. "Jadi ini pacar anak papa."

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang