Part 8; Nancy Sawyer

222 17 0
                                    


Hubunganku dengan Adam semakin dekat. Terkadang aku lupa kalau ini semua hanya drama yang sedang kami mainkan. Semua tampak terlalu sempurna untuk menjadi sebuah kenyataan.

Sekarang justru aku dan Ian tak dekat. Ia terlalu sibuk keluar dengan Jenny. Masih terasa sakit jika melihat Ian dan Jenny keluar dari rumahnya. Aku ingin sekali pindah rumah saat itu juga, atau kemana pun asal tak melihat mereka berdua. Ian kini terlihat jauh lebih bahagia di banding denganku dulu. Aneh rasanya, ketika banyak hal yang telah terjadi diantara kita seakan-akan hilang begitu saja karena satu perempuan.

"Hey" Sapa Emily.

"Hey, Em."

"Kay, lo kenapa masih cemburu sama Ian? Lo kan udah punya Adam." Ucapnya.

Aku menatap Emily. Rasanya ingin memberi tau padanya. Ini benar-benar bodoh. Aku akan menyudahi semua ini. "Gue pergi dulu, Em." Ucapku.

Aku pergi ke kelas Adam, mencari sosoknya. Namun tak dapat ku temukan. "Lo liat Adam nggak?" Tanyaku pada perempuan yang ku yakin sekelas dengannya.

"Adam nggak masuk. Dia sakit." Jawabnya.

Sakit? Rasanya dia baik-baik saja semalam. Pantas saja dia tidak menjemputku pagi ini. Tadi pagi aku mencoba menghubunginya, namun tak ada panggilan yang terjawab.

Selama pelajaran yang menari-nari diotakku hanyalah Adam. Aku sangat takut dengan apa yang terjadi padanya. Semoga dia baik-baik saja.

***

Aku berjalan melewati koridor ketika bel pulang sekolah terdengar. Emily berjanji akan mengantarku ke rumah Adam. "Kelly!" Teriak seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ian?

Jantungku bedebar. Rasanya seperti pertama kali kau berbicara pada seseorang yang kau suka. "Ada apa?" Tanyaku. Nafasku sama sekali tak teratur.

"Buru-buru banget. Pulang bareng yuk?" Ajaknya.

"Gue mau ke rumah Adam." Jawabku. Ia kelihatannya kecewa dengan jawabanku. "Lo di tungguin Jenny, Ian. Gue harus pergi. Okay?"

"Kalau udah sampai rumah, telepon gue. Okay?" Aku mengangguk.

"Ayo, Em." Ajakku.

***

Kami akhirnya sampai di rumah Adam. Sebelum masuk aku dan Emily bertemu dengan dua pria berbadan besar yang menjaga pintu masuk. "Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya. Ia terdengar sangat kaku.

"Um, saya teman Adam. Saya mau bertemu dengannya."

"Tuan Adam sedang tidak bisa di ganggu."

"Bisa minta tolong bilang padanya kalau Kayla mau bertemu?"

"Maaf, tidak bisa. Ini perintah." Aku dan Emily saling tukar pandang.

Tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari belakang gerbang besar itu. "Siapa, Bob?" Tanyanya.

"Teman perempuan tuan Adam."

"Namanya?"

Pria itu menatapku. Memberiku isyarat untuk menjawabnya. "Kayla. Kayla Kingsley."

"Oh, Kayla." Ucapnya seperti sudah mengenalku. "Biarkan dia masuk, Bob."

Bob membukakan pintu untuk kami.

"Hello Kayla. Dan kau..." Dia berpikir. "Sepertinya aku pernah melihat mu."

Emily terlihat tidak nyaman dengan kalimat itu.

"Aku Emily. Mungkin anda salah orang." Aku merasakan ada yang Emily sembunyikan dariku.

"Oh, baik. Jadi, aku adalah kakaknya Adam. Nancy Sawyer." Aku tak pernah tau kalau Adam memiliki seorang kakak perempuan. Aku hampir mengira itu Laura. Perempuan yang ia ceritakan padaku.

"Hey, Nancy. Adam ngga pernah cerita tentang kamu." Ucapku.

"Karena memang Adam nggak pernah anggap aku ada."

"Kenapa?" Tanya Emily.

Nancy diam. "Bukan masalah. Jadi kalian mencari Adam? Dia nggak disini. Dia sedang di rawat di rumah sakit. Kondisinya memburuk jam 3 dini hari."

"Rumah sakit mana?" Tanyaku mulai panik.

"Supir ku akan mengantarkan kamu kesana." Ucap Nancy.

Norman. Begitu Nancy menyebutnya. Umurnya sekitar 45 tahunan. Terlihat dari garis-garis yang terukir di wajahnya. Dia adalah supir yang tadi disebut oleh Nancy.

"Emangnya Adam sakit apa, Kay?" Tanya Emily ketika kami dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Leukimia." Jawabku. Dia mengangguk mengerti.

"Menurut lo Adam kenapa benci sama Nancy ya, Kay?"

Aku menaikkan kedua bahuku. "Dia nggak pernah cerita dia punya kakak."

"Jadi ini Kayla?" Tanya Norman yang sedari tadi fokus menyetir.

"Ya, aku Kayla." Jawabku. Setelah itu dia diam lagi. Aku tak ingin menganggunya menyetir. Tapi pertanyaannya tadi membuatku bertanya. Ia seperti mengenalku. "Ada yang salah, pak?"

"Nggak. Adam pernah menceritakan kamu padaku." Sepertinya Adam menceritakanku pada banyak orang.

Akhirnya kita sampai di tujuan. Norman mengantarku ke kamar Adam. "Adam!" Ucapku setelah masuk ke kamarnya dan mendapatkan ia sedang menonton TV.

"Hey, Kay! Kok bisa tau gue disini?" Tanyanya.

"Apa sih yang gue nggak tau?"

"Eh, hey, Emily. Apa kabar?"

"Baik." Jawab Emily.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku.

Adam tersenyum. "Engga ada yang terjadi, cuma pingsan dan semua orang terlalu berlebihan. Don't worry, babe."

Wajahnya terlihat sangat pucat dan dia masih bisa menenangkanku? Dia gila.

Tiba-tiba ponsel Emily berdering. Ia melihat pesan yang masuk. "Ah! Gue lupa. Gue harus pulang."

"Ada apa?" Tanyaku.

"Gue harus jaga toko." Jawabnya. "Gue balik ya, Kay. Cepat sembuh, Dam." Dia melirik Adam dengan tatapan benci.

"Lo ada masalah apa sih sama Emily?" Tanyaku ketika Emily sudah pergi.

"Enggak ada apa-apa." Jawabnya dengan santai.

Adam sama sekali tak mau cerita apa yang terjadi. Aku akhirnya mengalah. Karena aku tau, terkadang tak semua masalah harus aku ikut campuri.

"Adam."

"Ya?"

"Gue mau berhenti sama drama kita. Gue rasa ini semua nggak akan berhasil." Adam diam. Sepertinya aku terburu-buru. Karena ini waktu yang sangat tidak tepat.

"Well, gue nggak bisa paksa lo."

"Kita bisa jadi teman kan?" Adam tesenyum dan mengangguk. "Gue boleh nanya sesuatu nggak, Dam?"

"Apa?"

"Kenapa lo nggak pernah cerita kalau lo punya kakak?"

Adam terlihat berpikir untuk menjawab pertanyaanku. "Umm..." Aku menunggu jawaban darinya. "Karena dia sama sekali nggak penting dan gue rasa nggak ada yang harus diceritain." Jelasnya. Aku mengangguk mengerti.


The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang