Part 13; My Dear, Laura

213 18 2
                                    

Aku terbangun dari mimpi yang sangat aneh. Aku tak dapat mengingatnya dengan benar tapi aku yakin Ian berdiri disana bersama Jenny. Aku bangun dan melihat kesekeliling ruangan. Aku baru ingat kalau ini bukan kamarku, tapi kamar Ray. Aku melihat ke sisi samping, Ray sudah bangun dari tadi.

Aku mendengar suara ketukan-ketukan di luar dan mencium aroma yang sangat sedap. Akhirnya aku keluar. Ternyata Ray sedang sibuk memasak dan setengah telanjang. "Ray?" Panggilku dengan suara yang serak-serak becek. Ia menengok kepadaku. Astaga, dia memiliki badan yang sangat indah dengan otot-otot perut yang menonjol. Aku tercengang memandangnya.

"Tolong jangan panggil gue dengan suara itu lagi."

"Suara gimana?" Seketika aku sadar.

"Suara itu. Suara lo seksi banget. Bisa-bisa gue khilaf." Ucapnya yang membuatku memutarkan bola mataku. "Gue udah bikinin sarapan buat lo."

"Lo bisa masak?" Tanyaku.

Ray mengangguk. "Ya, bisa aja. Nggak jago. Ini aja cuma omelette." Dia memberiku piring dengan omelette diatasnya. Aku mencicipi sedikit.

"Ray..."

"Ya?"

"Ini adalah Omelette terenak yang pernah gue makan. Jago banget lo. Gue aja nggak bisa masak. Paling masak mie instan." Jelasku sambil tertawa.

Dia tersenyum dan tersipu malu. "Ini resep dari nyokap gue." Aku pun mengangguk-angguk. 

"Ray, maafin gue ya. Gue baru kenal lo kemarin tapi udah asal nginep di apartemen lo, dan sekarang malah ngerepotin lo dengan dibuatin sarapan." 

Ray tertawa. "Santai aja, Kay. Selama gue bisa bantu ya gue bantu. Lagi pula gue seneng kok, lo disini. Biasanya gue keluar beli makan buat sarapan, tapi karena ada lo jadi ya gue masak aja."

"Besok-besok nggak usah."

"Oh, besok-besok lo mau nginep lagi?"

"Eh, nggak gitu maksud gue... Gue cuma..."

"Santai, Kay. Gue bercanda." Ucapnya.

***

Setelah mengantarku pulang, Ray pun pergi. Dia harus ke kampus untuk mengumpul tugasnya. Tak sengaja aku melihat Ian dibalkon kamarnya sedang melihatku. Tapi aku berusaha tak peduli. Mama sudah tak di rumah, itu alasan kenapa pintu terkunci. Aku mencari kunci dibawah keset. Tapi tak ada. Aku pun mengambil ponselku didalam tas. Ternyata mama mengirimku pesan dari tadi pagi.

Mom : Kay. Kunci rumah di tante Lyla. 

Mom : Jaga rumah baik-baik sayang.

Kenapa mama harus menitipkan itu di tante Lyla? Aku jadi harus bertemu dengan Ian sekarang. Aduh, bagaimana ini?

Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke rumah Ian. Kali ini aku mengetuknya dengan sopan. Tak ada yang membukakan pintu. Aku pun mengetuknya lagi. Akhirnya pintu terbuka. Untung saja itu om Ryan, papa Ian. "Hey, Kayla. Biasanya langsung masuk."

"Hey, om. Aku mau ambil kunci rumah."

"Kunci  rumah? Kamu masuk aja dulu deh, om carikan di dalam. Davi diatas tuh, di kamarnya. Langsung aja ke atas." Ucapnya.

"Aku tunggu disini aja." Setelah menatapku heran, ia langsung masuk ke dalam dan mencari kunci rumahku.

Setelah sekitar 5 menit aku menunggu tanpa kepastian, om Ryan keluar. "Um, sayang. Kunci rumah di bawa tante Lyla, dan tante Lyla lagi ke supermaket. Mungkin kamu mau masuk dulu?" Aku diam dan berpikir. Kalau aku masuk pasti aku akan bertemu dengan Ian, tapi kalau aku di luar, aku akan mati kebosanan dan kepanasan.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang