Part 16; I Wish You Knew

173 14 0
                                    

Ray merangkulku. Ia berusaha membuatku tenang sejak tadi. Aku hanya berdoa semoga ia bangun. Aku mau bercerita apa pun dengannya. Aku melihatnya dari jendela dan sedang ditangani oleh dokter.

Aku mencoba menghubungi mama. Akhirnya mama mengangkatnya. "Ma! Pulang sekarang, tolong."

"Kamu kenapa, Kay? Jangan buat mama panik!"

"Papa masuk rumah sakit, ma."

"Kenapa papa kamu?"

"Tadi aku ketemu papa, papa cerita semuanya. Aku keluar sebentar dan tiba-tiba papa udah terbaring di lantai."

"Mama akan cari penerbangan besok pagi. Kamu tenang, ya." Akhirnya kami memutukan sambungan.

Ray melihatku dan memelukku. "Tenang, Kay. Semua akan baik-baik aja." Ia mengelus-elus rambutku.

"Belum ada satu jam gue deket sama dia, Ray. Yang dia mau cuma gue menerima dia dan memanggilnya papa. Kenapa sih gue bodoh banget?"

"Ssshh. Lo nggak bodoh, Kay. Berhenti menghina diri lo sendiri, karena menghina itu tugas orang lain. Sekarang kita sama-sama berdoa aja ya, biar semua baik-baik aja." Aku mengangguk dalam peluknya.

Setelah menunggu sekitar 30 menit akhirnya dokter keluar. Aku dan Ray sama-sama beranjak berdiri dari tempat kami. "Maaf, Ayah anda terkena serangan jantung. Kami telah berusaha semampu kami. Kami turut berduka cita."

Kaki ku lemas. Seakan-akan gravitasi menarikku. Sebelum aku terjatuh, Ray menangkapku. Aku menangis sejadi-jadinya. Selama hidupnya, aku belum pernah membuatnya tersenyum, aku belum membahagiakannya. Yang aku lakukan adalah mengusirnya dari hidupku. Dan ketika aku telah menerimanya, kenapa justru Tuhan mengambilnya?

Aku memeluk erat Ray. Dia satu-satunya orang yang berada disampingku saat ini. "Ray, gue belum sempat bahagiain dia." Ucapku dengan tangis.

"Kay, gue turut berduka. Lo harus kuat. Lo harus tau kalau dia sayang banget sama lo. Lo tenang sekarang." Ucapnya. Sekarang kalimat itu hanya asap yang cepat atau lambat pasti akan hilang.

***

Tak banyak temanku yang tau kalau papa meninggal. Pemakaman pagi ini, dari semua temanku hanya Ian, Adam, Emily, dan Ray yang hadir. Mataku sembab setelah semalaman tak tidur dan hanya menangis. Aku juga telah menganggu tidur Ray.

Semalam, setelah mengurus administrasi aku kembali ke apartemen Ray dan menginap disana. Subuh tadi ia mengantarku pulang untuk menyiapkan diri ke pemakaman.

Kini aku mengenakan kaca mata hitam untuk menutupi mataku. Mama baru saja tiba lima menit yang lalu, langsung dari Bandara. Ia memelukku.

Selain itu, istri dan anak-anak papa hadir ke pemakaman. Memberiku salam dengan sopan. Mereka tampak baik. Dan masih banyak lagi orang-orang yang tak ku kenal datang ke pemakaman papa. Aku harap aku masih bisa berbicara padanya untuk terakhir kali.

Aku sudah tak bisa menangis lagi. "Kelly." Bisik Ian. "Gue turut berduka cita." Ini pertama kalinya dia berbicara padaku setelah kejadian malam itu. Aku hanya mengangguk.

Setelah selesai berdoa semua orang satu persatu pergi. Aku masih disini. "Ray, gue pulang sama mama." Ucapku.

Ray mengangguk. "You'll be okay." Ucapnya. Setelah itu dia memelukku.

"Kay, gue turut berduka cita ya. Lo harus tetap semangat." Ucap Emily. Ia pun memelukku sebagai rasa simpati. Aku berusaha tersenyum semampuku.

"Kay, gue tau lo sedih, tapi lo harus terus menjalani hidup lo dengan positif, oke?" Ucap Adam.

Aku tertawa. "Lo kira gue mau bunuh diri?"

Dia menaikkan kedua bahunya. "Siapa tau, kan? Lo itu orangnya putus asa." Aku hanya tersenyum menanggapi lawakan Adam. "Oh, sini." Ia langsung memelukku. Aku tak berani membalasnya karena ia pasti akan merasakan kesakitan. "Gue bener-bener turut berduka cita. Dan maaf kalau candaan gue nggak tepat." Aku hanya mengangguk. Dia pun akhirnya pergi.

"Kelly..." Panggil seseorang yang sangat aku kenal. "Gue mau minta maaf." Ucapnya.

"Untuk apa?"

"Untuk mencapakan lo ketika lo udah berusaha jujur sama gue. Untuk terlambat sadar kalau gue juga suka sama lo, Kell. Mungkin gue cuma takut, takut ada perbedaan dengan cara pertemanan kita."

Aku menatapnya penuh benci. "Kenapa sekarang, Ian? Kenapa nggak waktu gue jujur sama lo? Kenapa sekarang? Kenapa lo lebih pilih mencampakan gue dan membuat gue jadi orang paling bodoh didunia karena udah jujur sama lo? Kenapa?"

"Gue.. Gue nggak pernah berani, Kell. Gue takut."

"Lo takut karena gue nggak sepopuler mantan-mantan lo? Atau takut karena gua cuma bisa mempermalukan lo aja?"

Ian menggeleng. "Gue takut gue akan menyakiti lo suatu hari nanti kalau lo jadi pacar gue. Gue takut lo bukan Kelly yang sebelumnya gue kenal. Gue takut menerima kenyataan kalau suatu hari nanti lo nggak akan suka jalanin hubungan sama gue dan berakhir berantakan. Tapi gue sekarang sadar, kalau ketakutan gue cuma nyakitin lo doang. Maafin gue."

"Gue pernah berharap terlalu tinggi sama lo. Gue tau gue bodoh."

"Berharap bukan bodoh, Kell."

"Bukan. Nunggu lo. Nunggu lo adalah kebodohan gue, Ian." Setelah diam beberapa saat, dia pergi meninggalkan ku.

Kini aku berdua bersama papa. Aku sangat ingat bagaimana wajahnya. Bagaimana wajah kecewanya ketika aku sama sekali tak mengharaginya, bagaimana dia senang ketika aku memanggilnya 'Papa' semalam. Kini, aku hanya bisa melihat batu nisannya saja.

"Kay, ayo pulang." Ajak mama. Aku pun meletakan bunga diatas tanahnya. Lalu beranjak berdiri mengikuti mama.

Ray masih disana, dengan rokoknya. Lagi-lagi dia membuang rokok itu setelah melihat kehadiranku. "Kay?" Sapanya.

Aku tersenyum. "Ray. Oh, iya ma, ini Ray. Dia yang menemani aku selama mama keluar kota. Dia yang masak buat aku loh." Jelasku.

"Halo, tante. Saya Ray West." Mama membalas senyum Ray. "Bukan apa-apa kok. Kebetulan saya memang bisa masak."

"Terimakasih ya. Ayo, Kay." Ucap mama.

"Gue pulang duluan, ya?" Pamitku.

Aku dan mama sama-sama masuk ke dalam mobil. "Itu pacar baru kamu, Kay?"

Aku menahan tawaku dan menggelengkan kepala. "Enggak, ma. Kita cuma temenan aja kok. Nggak lebih."

"Tatapan ke kamu beda loh. Ngomong-omong kamu kenal dimana? Kok dia tampangnya tua ya." Ucap mama.

"Aku kenal dia karena Adam, ma. Dia temannya Adam. Dia kuliah di Manajemen Bisnis." Jelasku. Aku tak berani bilang kalau aku dan Ray bertemu di kedai kopi. Bisa-bisa aku jadi daging cincang.

"Mama kira yang jagain kamu Davi."

"Dia mah cuma pengecut." Ucapku sambil menatap ke jalanan.

"Hmm. Pasti lagi berantem nih. Kenapa?"

Aku tak menjawab pertanyaan itu. Aku sedang tak ingin membahasnya. Aku bahkan tak tau bagaimana perasaanku sekarang pada Ian. Belum lagi, kini aku tau kalau Ray menyukaiku. Ray adalah orang yang baik sangat baik. Aku tak tau apakah ada niat jahat dibalik kebaikannya atau tidak. Tapi aku yakin aku akan baik-baik saja

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang