Part 11; Truth?

177 17 0
                                    


"Gue perlu ngomong sama lo." Ucapku pada Adam selagi dia memakan makan siangnya di kantin.

"Lo kangen gue ya?" Godanya. Aku memutar bola mataku.

"Kenapa bukan lo yang jadian sama Jenny? Kenapa Brian?"

Adam mengangkat kedua bahunya. Ia lebih terlihat seperti kebingungan mau menjawab apa, sedangkan aku menunggu jawabannya. "Gu... Gue suka sama lo, Kay. Sejak pertama kali kita ketemu di Perpustakaan. Jenny sepupu gue. Semua memang udah direncakanan sejak awal."

Aku terkejut dengan apa yang ia ucapkan. "Dam? Lo tau gue suka sama Ian, dan lo tega buat gue cemburu? Dan lo akting seakan-akan lo tau apa yang gue rasain?" Adam diam. "Ian bener. Lo itu cowok terbrengsek yang pernah gue kenal."

Aku beranjak berdiri dan pergi darinya. "Kay! Gue jelasin dulu!" Teriaknya. Tapi aku tetap berjalan menjauh. Aku berusaha sangat keras untuk menahan tangisku. Tapi aku gagal.

Kenapa aku begitu percaya pada semua orang? Kenapa mereka tega membohongiku? Selagi pikiranku bekerja keras aku tak sadar aku menabrak seseorang. Ian. Aku juga tak peduli lagi dengannya, aku melanjutkan jalanku. "Kell!" Teriaknya. Tapi aku sama sekali tak berbalik arah.

Aku duduk dibawah pohon yang aku yakin kini pohon ini akan menjadi temanku. Atau bahkan sahabat baikku. Aku memeluk diriku. Mengutuk diriku sendiri. Kenapa semua ini begitu sakit?

***

Aku mengaduk-aduk greentea latte hangat. Ini pertama kalinya aku ke kedai kopi sendiri. Aku berusaha menenangkan diriku. Di luar sedang hujan cukup deras.

Sedari tadi Adam mencoba menghubungiku, tapi aku tidak peduli. Kini aku mematikan ponselku, sehingga tak ada yang menggangguku lagi. "Boleh duduk disini?" Tanya seseorang. Dia tinggi, sangat tampan dan alisnya tebal.

"umm..." Aku melihat kesekeliling meja. Mencari alasan kenapa ia mau duduk bersamaku.

"Semua kursi penuh, dan kayaknya kamu duduk sendirian."

"Oh, ya, nggak apa-apa. Aku juga akan pergi sebentar lagi." Aku tersenyum. Dia membalas senyumku dan duduk.

Sedikit canggung beberapa detik setelah ia duduk. "Oh, aku Ray West." Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku pun meraih tangannya.

"Aku Kayla Kingsley."

Dia manatapku terkejut. "Kenapa dunia sesempit ini?" Dia tertawa. Kini aku menatapnya heran. "Jadi ini Kayla Kingsley? Pacar Adam Sawyer?"

"Gue harus pergi." Ucapku. Sudah cukup tentang kesopanan 'Aku-Kamu'.

"Hey, maaf kalau itu menyinggung perasaan lo. Adam apa kabar?"

"Lo kan temannya, kenapa tanya gue?" Tanyaku ketus.

"Tapi lo kan pacarnya. Masa lo nggak tau keadaannya sekarang?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Gue bahkan nggak pernah jadi pacarnya." Aku menghela nafas. "Dia orang yang paling brengsek yang pernah gue kenal." Jelasku.

Ray mengangkat salah satu alisnya. "Kalian putus?"

Aku menatapnya kesal. "Gue nggak pernah pacaran sama Adam. Lo bisa nggak sih berhenti tanya-tanya soal Adam? Gue kesini untuk buang pikiran gue tentang dia, dan sekarang lo dateng buat undang pikiran itu lagi? Mending lo pergi aja." Ucapku kesal.

Dia tersenyum. "Ok. Maaf deh. Gue kira lo udah kuliah, ternyata masih SMA."

"Emang gue setua itu?"

Dia menggeleng dan tertawa. "Enggak, jarang aja anak SMA jalan sendirian. Biasanya sama teman-temannya, seneng-seneng."

Aku menaikkan kedua bahuku. "Lo kuliah?" Tanyaku. Dia mengangguk. "Jurusan apa?"

"Manajemen bisnis." Aku mengangguk dan membentuk bibirku seperti huruf 'o'. 

Aku melihat ke arah ponselku yang masih mati. Akhirnya aku menyalakannya. Ketika ponselku menyala sudah ada 15 panggilan tak terjawab dari Adam. dan 3 panggilan tak terjawab dari Ian. Pukul menunjukkan hampir jam 7 malam.

Aku mengobrol banyak bersama Ray. Dia sangat asik bila diajak mengobrol. Hujan diluar juga sudah reda tadi, tapi kini hujan itu datang lagi. 

"Bagaimana kalau yang itu?" Tanyaku. Memberi isyarat padanya untuk menoleh kebelakang. Ia bilang ia mau punya pacar, karena dia sudah bosan sendiri. Ia akhirnya menoleh pada seorang perempuan yang berbadan sedikit gemuk dengan dandanan agak sedikit menor. Dia membalikan kepalanya dan melihatku. Aku pun tertawa melihat ekspresinya.

"Lo gila!" Ucapnya. Aku hanya tertawa saja. "Lo gue cariin pacar juga deh." Ucapnya lagi. Dengan cepat aku langsung menggeleng. "Tuh, tuh." Ray menunjuk kepada seorang lelaki tua yang sedang berdiri sendirian.

"Raaayyy!!" Rengekku. "Itu masa depan lo. Sendirian, kesepian, nggak ada temen."

"Kan ada lo yang temenin gue." Ucapnya lalu tertawa.

Aku melihat ke arah ponselku. Sudah jam 9 malam. "Gue harus pulang." Ucapku. Lalu aku melihat keluar jendela, masih hujan.

"Ini masih hujan, Kay. Lo mau gue antar pulang?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Nggak usah, gue bisa pulang sendiri kok. Cuma mungkin tunggu hujan reda aja." Jelasku.

Ray mengangguk. "Iya, tapi gue yang antar lo pulang. Ini bukan pertanyaan atau tawaran, Kay." Ucapnya.

"Ya udah kalau lo maksa." Candaku. Ia pun tertawa.

Cukup lama kita mengobrol, akhirnya kita sadar kalau diluar hujan sudah reda. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumahku. Ray mencoba bersikap manis dengan membukakan aku pintu mobil. "Ray, gue bukan anak kecil kali." Ucapku.

Ray tersenyum. "Umur lo lebih muda dari pada gue kali." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lalu masuk kedalam mobilnya.

"Lo mau lanjut kuliah dimana, Kay?" Tanyanya setelah mobil berhenti di lampu merah.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Nggak tau."

"Harus dipikirin dari sekarang tau."

"Iya, tau." Dia pun tertawa. Padahal tak ada yang lucu. "Gila." Gumamku.

"Apa?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Enggak kok." Aku pun tersenyum.

"Gue suka deh jalan sama lo, Kay. Gue kira lo kayak bocah, pemikirannya anak-anak karena lo masih kecil. Ternyata enggak."

Aku tersanjung mendengar kalimatnya. "Umm.. Gue harus berterimakasih atau gimana nih?" Candaku. "Lagian masa lo nilai orang dari umur sih?"

"Enggak, kan biasanya kayak gitu."

"Ya, biasanya."

"Seharusnya lo seneng dong. Kan itu tandanya lo berbeda dari yang lain. Ya kan?" Aku pun mengangguk. Dia meraih teleponnya dan memberikannya padaku. "Tulis nomor lo gih." Akhirnya aku menyentuh layar dan mulai mengetik nomorku lalu menyimpannya dikontak ponselnya.


The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang