Part 9; Heart Attack

191 17 1
                                    

Aku menatap Ian ketika ia sedang memainkan gitarnya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Membayangkan aku dan dia menjadi pacar. Pasti akan terdengar aneh. "Kell,
Lo tau ngga kalau Jenny suka cemburu kita dekat?" Tanyanya.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Engga tau. Lagian gue ngga peduli banget tentang dia." Ucapku.

"Gue tau lo cemburu. Jangan gengsi gitu ah." Ucapnya.

Aku yakin kini wajahku sangat terkejut mendengarnya. "Ja...jangan sok tau lo. Gue kan udah punya pacar." Ucapku.

"Siapa tau lo pura-pura pacaran sama Adam." Ucapnya dilanjutkan dengan tawa. Sedangkan aku, jantungku berdegup kencang mendengar kalimatnya tadi. Tau dari mana dia???

"Aneh-aneh aja lo." Ucapku mencoba untuk santai.

Tiba-tiba suara ponsel Ian berdering. Setelah menatap layar ponsel itu, ia langsung melihatku. Mataku bertanya ada apa? Padanya. Dia menggerakkan mulutnya tanpa suara, memberi isyarat kalau itu Jenny. "Halo?" Ucapnya. "Ya,
Aku sedang bermain gitar." Aku menatapnya. "Umm.." Dia lalu melihatku. "Ya, aku sedang sendiri." Dia mengedipkan salah satu matanya padaku.

Aku tak tahan mendengar ini. Aku akhirnya memberi isyarat aku mau pulang dengan menunjuk ke arah pintu. Ian mengangguk.

Aku menangis sambil jalan pulang. Tak ada yang menginginkan aku disekitar mereka. Sakit sekali mendengar apa yang diucapkan Ian tadi.

Aku membuka pintu rumah. Mama sedang duduk di sofa. Melihatku dengan air mata yang mengalir dipipiku. "Kay? Ada apa?"

Aku menggeleng lalu masuk ke kamar. Aku tak pernah memberi tau mama kalau aku jatuh cinta sedalam ini dengan Ian. Mama nggak perlu tau. Ini bahkan terlalu sakit untuk diceritakan. Mama mengetuk pintu kamarku."Kay?"

"Aku nggak apa-apa, ma. Aku butuh waktu sendiri."

"Sayang, nggak sekali kamu kayak gini. Kamu yakin nggak mau cerita sama mama. Mungkin mama bisa bantu mengurangi beban kamu." Jelasnya dari depan pintu.

Tapi aku memilih diam dan tak mengatakan apapun. Bantalku basah karena air mataku.

Ketukakan itu terdengar lagi. Kali ini lebih kasar. Aku tak tahan lagi, akhirnya aku membuka pintu. "Ma, aku nggak--" itu, Ian. Aku buru-buru menghapus air mataku.

"Lo kenapa?" Tanyanya terdengar panik. Aku hanya menggeleng. Tapi dia memelukku. Entah kapan terakhir dia melakukan ini, tapi aku sangat merindukan pelukan simpatiknya. Aku menangis lagi dalam peluknya. Betapa dekatnya dia dengan jarakku. Bahkan kini tak ada sepasi diantara kita, tapi rasanya sulit sekali menggapainya.

Aku memilih melepaskan pelukan itu. "Gue nggak apa-apa kok." Ucapku sembari mengelap air mataku. "Yah, baju lo basah." Ucapku dengan tawa.

"Gue tau lo kenapa-kenapa. Sekarang bilang sama gue, Kell." Kalau dia tau pasti kini dia juga tau kalau perasaan ini semakin dalam padanya.

Aku menggeleng. "Gue cuma sedih aja karena bokap gue."

"Sabar ya, Kell. Gue ada disini buat lo."
Dan hanya itu yang bisa ia lakukan. Mengucapkan 'sabar'. Aku butuh kata-kata yang lebih dari sabar. Ugh!

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. "Ada apa kesini?" Tanyaku.

"Gue cuma mau minta maaf soal tadi. Padahal gue tau ada lo. Tapi gue malah bohong sama Jenny. Kalau dia tau, bisa berantakan hubungan gue."

"Lo sayang banget ya sama Jenny." Ucapku.

"Sayang aja. Kalau sayang banget mah sama elo."

Aku menatapnya dengan cepat. "Gila lo."

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang