Minggu ini Adam sudah berjanji mengajakku pergi. Aku menunggunya di ruang tamu. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Aku yakin itu Adam. Aku pun akhirnya membuka pintu. Oh, Ian. "Hey, Ian." Sapaku.
"Hey, Kell. Gue ada film baru." Dia menunjukkan kotak CD.
Aku menyilang kedua tanganku. "Kenapa nggak nonton sama Jennifer?" Tanyaku dengan nada sarkastis. Dia diam dan sepertinya sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku. "Tuhkan, nggak ada yang se-asik gue." Ucapku dengan optimis.
"Ya... Emang nggak ada yang se-asik lo." Aku sedikit senang mendengar kalimat itu dari mulutnya sendiri. "Jadi, mau nonton kan?" Tanyanya lagi.
Sebelum aku menjawab, mobil Adam sudah tiba didepan rumah. Kami melihat ke arah yang sama. "Gue udah janji sama Adam."
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, setelah selesai sama Adam langsung ke rumah gue." Ucapnya dengan tatapan serius.
Adam turun dari mobilnya dan mendekati kami. Ia menarik pinggangku dan mencium pipiku. "Hey, babe." Sapanya. Ian menatap Adam penuh dendam. Tolong bilang padaku kalau itu tatapan cemburunya!
"Kita mau kemana?" Tanyaku setelah menatap punggung Ian hilang dari pandangan.
Adam mengigit bibir bawahnya. "Date?"
Aku tertawa. "Kita pacaran kan bohongan, kenapa kencannya harus beneran?"
"Lo tau nggak kalau akting juga butuh penjiwaan? Ya, siapa tau lo bisa jatuh cinta sama gue beneran." Ucapnya dengan percaya diri.
"Mimpi aja dulu."
"We'll see, sweety."
Akhirnya kami pergi ke suatu tempat yang benar-benar tak aku ketahui. Hampir setiap detik aku bertanya kemana kami pergi dan kapan akan sampai. Tapi jawabannya selalu sama, "Kay, nggak usah bawel."
Akhirnya kami sampai. Setelah berjam-jam duduk dan bertanya ini itu, akhirnya sampai. Hmm, ini tampak seperti hutan tapi tidak seliar hutan sesungguhnya. "Dam, lo nggak ada niat untuk culik gue ke suatu tempat disini, kan?"
"Rugi kalau culik lo, Kay. Berat juga kalau gue gendong." Ucapnya. Mengapa orang-orang tak pernah bisa berhenti bicara tentang berat badanku? Bukan kah ini mereka bilang kalau berat badan hanya lah angka. Aku yakin yang menciptakan kalimat itu adalah orang-orang yang putus asa. huh!
Kami (atau Adam) memutuskan untuk berjalan lebih dalam. Mengikuti jalan setapak yang ada. Bau tanah basah sangat khas tercium di hidungku. Jalanku sedikit lebih lamban dari pada Adam, karena aku melihat ke sekeliling dan merekamnya diingatan ku. Adam sangat tak sabar, sehingga ia menarik tanganku.
Kami sampai di sebuah danau yang sangat indah. Ada perahu kecil diam di pinggir danau itu. "Gila, bagus banget." Gumamku.
Adam membantuku untuk naik ke perahu tersebut. Ada meja kecil yang diatasnya terdapat taplak meja merah putih, dan dua piring kue dan juga sekaleng soda. Adam ternyata cukup romantis. Tapi kan aku bukan pacar sungguhannya.
"Kayaknya ini berlebihan, Dam." Ucapku selagi ia mendayung ke tengah.
Dia tersenyum. "Jangan terlalu percaya diri gitu, Kay. Lo suka nggak?"
Baiklah. Aku tak mengerti dengan 'Jangan terlalu percaya diri.' yang ia ucapkan tadi. Dan aku lebih tak mengerti dengan pertanyaan 'Lo suka nggak?' Butuh waktu untukku menjawab pertanyaan itu. "Errr— Suka..."
"Berarti gue akan ajak Jenny ke sini." Ucapnya. Oh. Baik lah. Mungkin aku akan mengurangi rasa percaya diriku beberapa persen.
"Persepsi orang beda-beda, Dam." Aku mengingatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chosen
Teen Fiction[COMPLETED] Hey, aku Kayla Kingsley. Aku adalah perempuan biasa yang mengharapkan cintanya dibalas oleh sahabat baiknya sejak kami TK. Aku hidup terbiasa tanpa seorang ayah yang menemani hari-hariku selama 17 tahun. Davian Kennedy adalah sahabat yan...