Part 28 ; Damn it!

154 12 0
                                    

Tak ada yang menarik hari ini. Aku kira teman-temanku akan memberiku kejutan pagi ini. Tapi sepertinya tak ada yang mengingat ulang tahun ku. Bahkan mama sekali pun. Mama sama sekali tak mengucapkan apa pun padaku pagi ini.

Disinilah aku, berbelanja perlengkapan dapur. Aku mengambil snack sebanyak-banyaknya. Aku tak peduli jika mama marah, ini kan ulang tahun ku.

Aku mengambil beberapa sayuran segar. Seperti tomat, slada, bayam, buncis, brokoli, dan lain-lain. Sepertinya aku akan memasak steak malam ini. Aku akan merayakan ulang tahun berdua dengan mama saja.

Aku mengambil daging dingin yang sudah dipotong rapi. Lalu mencari bumbu-bumbu untuk memasak. Apa lagi ya? Sepertinya sudah cukup.

Aku berjalan ke kasir. Tak sengaja aku melihat wajah yang sangat familiar dipandanganku. Ray West. Matanya belum menangkapku. Aku sempat melihat dia membawa dua botol bir dikedua tangannya. Aku buru-buru menjauhi kasir. "Kayla!" Teriaknya.

Sial. Sial. Sial. Aku terus mengutuk diriku sendiri. Aku pura-pura tak mendengarnya dan melanjutkan jalanku. Tapi aku merasakan genggaman erat memegang lenganku. Crap!

"Kay, lo disini?"

"Menurut lo ini siapa?" Tanyaku ketus.

"Lo... Lo ngapain?"

Aku tersenyum. "Nonton bola." Seketika senyum itu pudar. "Ya, biasanya orang ke sini ngapain, Ray?"

"Kenapa sih gue bego banget?" Ia menggaruk-garuk kepala belakangnya. Membuat rambutnya sedikit berantakan. Percaya lah, dia terlihat tampan saat ini. Aku tak sanggup melihatnya, jadi aku pergi. "Kay!"

"Ray, gue minta tolong sesuatu. Ini ulang tahun gue, gue cuma berharap satu hadiah dari lo."

"Hari ini ulang tahun lo?" Aku mengangguk. "Selamat ulang tahun ya! Dan mau hadiah apa?"

"Jauh-jauh dari gue."

Dia menatapku dengan tatapan terkejut. "Lo mau... Gue jauh-jauh dari lo?" Aku mengangguk. "Apa kalau gue bilang itu membunuh gue perlahan, lo akan tetap meminta gue untuk jauh-jauh dari lo?"

Aku diam. Aku tak tau sebesar apa rasanya padaku sehingga harus sesulit itu melepasku. Aku mengetahui sesuatu dihatiku, aku mau dia. Tapi disisi lain, aku harus menjauhinya. "Ray, berhenti. Berhenti bertingkah kayak lo sayang sama gue."

Dia menatapku heran dan kaget. "Lo buta atau gimana sih, Kay? Gue yakin seyakin-yakinnya, kalau lo tau gue ini nggak pernah bohong kalau gue sayang sama lo." Ucapnya. Aku tak berani menatap matanya. Aku memalingkan wajahku.

"Gue cuma nggak mau dijadiin budak nafsu lo. Kayak Laura."

"Astaga, Kay! Itu emang salah gue. Tapi bukan gue sepenuhnya. Kenapa sih lo nggak pernah dengerin apa penjelasan gue?"

"Karena semua udah jelas."

"Kenapa lo mempersulit semuanya?" Aku mengangkat kedua bahuku. "Setelah lo bayar kita ke kafe didepan supermarket ini, gimana?"

"Gue harus bawa ini pulang."

"Sebentar aja, Kay. Seenggaknya, lo tau apa yang terjadi."

Akhirnya aku setuju. Mungkin tak ada salahnya mendengarkan apa yang terjadi. Aku mengantre dikasir bersama Ray. Lalu membayar belanjaanku. Ray memutuskan untuk membawa belanjaanku. Lumayan lah, karena cukup berat untuk membawanya sendirian.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang