Part 12; Truth!

196 17 0
                                    

Setelah memberi arahan dimana rumahku akhirnya kami sampai. Dari kejauhan aku melihat Adam sedang duduk ditangga depan pintu rumahku. "Adam?" Gumamku.

"Itu bukannya Adam?" Tanya Ray. Aku mengangguk.

Aku dan Ray sama-sama turun dari mobil. Adam pun menghampiri kami berdua. "Kay, lo dari mana aja? Jam segini baru pulang?" Tanyanya. Dia langsung melihat Ray. "Lo ngapain sama Kayla?"

"Gue jalan sama dia."

"Anj*ng! Lo tau gue suka sama dia. Kenapa lo malah jalan sama dia?" Tanyanya terdengar kesal.

"Dam, gue tadi nggak sengaja ketemu sama Ray di Grey's. Terus ya kita kenalan. Lagi pula bukan urusan lo gue mau kemana atau pulang jam berapa. Lo bukan siapa-siapa gue." Ucapku kesal.

"Kay, lo jangan dekat-dekat sama dia. Dia pasti cuma mau main-main doang sama lo. Lo ngertikan maksud gue?" Ucap Adam.

"Kenapa sih semua orang harus atur gue mau pergi sama siapa? Nggak lo, Ian, atau Emily. Kalian semua bisa nggak sih kasih gue bebas?"

"Dam, gue sama sekali nggak ada niat jahat ke Kayla. Lo harus tau itu." Tiba-tiba aku melihat Ian keluar dari rumah. Bagus, kini semuanya sudah lengkap.

"Kelly? Nyokap lo khawatir. Lo dari mana aja?" Tanya Ian. "Ini siapa?" Ia melihat ke arah Ray.

"Gue Ray."

"Lo ngapain kesini, Dam?" Tanya Ian pada Adam.

"Gue mau minta maaf sama Kayla atas--" Aku langsung memberikan isyarat padanya untuk tidak membahas ini. "Atas kejadian tadi siang di sekolah. Gue udah buat dia nangis." Aku menghela nafasku. "Telepon gue nggak diangkat sama dia, jadi gue kesini. Ternyata dia datang sama cowok brengsek ini."

"Dam, jaga mulut lo." Ucap Ray.

"Gue kenal lo lama, Ray. Gue nggak mau lo apa-apain Kayla." Ucapnya.

Aku menggeram. "Argh! Waktu gue sama lo, Ian marah karena dia bilang lo brengsek. Sekarang gue kenalan sama Ray, lo marah karena lo pikir dia brengsek. Kawin aja lo bertiga!" Ucapku kesal.

"Kata lo, lo nggak pernah jadian sama Adam. Sekarang lo bilang gitu. Yang bener yang mana, Kay?" Tanya Ray.

"Nggak pernah jadian sama Adam?" Ian mengulangnya lagi. Aku dan Adam saling tukar pandang.

"Gue sama Adam..." Aku berharap pingsan sekarang juga. Aku tak mungkin menarik kata-kata yang telah aku ucapkan pada Ray, aku juga tak bisa jujur pada Ian kalau aku dan Adam pernah menjalani drama. "Kita..."

"Kita nggak pernah jadian. Karena gue cuma mau jadiin Kayla sebuah pelampiasan dari Jenny." Jelas Adam. Tiba-tiba tanpa diduga kepalan tangan Ian melayang ke wajah Adam.

"Ian!" Teriakku. "Lo gila ya?" 

"Gila? Lo nggak liat apa yang udah dia lakuin ke elo? Gue pernah bilang kan kalau dia brengsek? Sekarang lo liat kan betapa brengseknya dia?"

Aku menangis. Itu sama sekali bukan salah Adam. "Yang dibilang Adam nggak bener." Ucapku. Aku menatap Ian dengan pandangan buram. "Gue suka sama lo, Ian. Gue selalu cemburu ketika lo punya pacar. Gue nggak tau kapan perasaan ini ada. Dan gue selalu sakit hati ketika lo cerita tentang setiap perempuan yang jadi pacar lo. Akhirnya Adam menawarkan diri untuk jadi pacar pura-pura gue, untuk buat lo cemburu. Selain itu karena dia bilang lo berhasil merebut Jenny dari dia, jadi gue rasa gue dan Adam berada diposisi yang sama. Awalnya gue nggak mau, tapi setelah gue tau kalau...Kalau lo udah tidur  sama Jenny, itu adalah puncak rasa sakit gue.

Akhirnya kita menjalani drama itu. Tapi akhirnya gue sadar kalau lo nggak pernah melihat gue dengan cara yang sama ketika gue melihat lo. Gue marah sama Adam karena ternyata dia suka sama gue." Jelasku.

"Kell, gue..."

"Lo nggak perlu bilang apa-apa."

"Gue suka sama Kayla. Gue tau kalian selalu dekat, makanya gue suruh Jenny untuk menggoda lo dan jadi pacar lo. Biar gue bisa dekat-dekat sama Kayla tanpa lo. Kalau nggak ada Jenny, lo pasti marah ke gue karena gue deketin sahabat lo." Jelas Adam.

Aku menghapus air mataku. "Ray, kita pergi." Aku menarik tangan Ray ke mobilnya. Kali ini hanya Ray yang netral. Ia pun akhirnya mengangguk.

"Kay, tolong jangan pergi." Ucap Adam. Tapi aku tak peduli. 

Aku melanjutkan tangisku didalam mobil Ray yang kini sudah berjalan menjauh dari rumahku. "Lo nggak apa-apa, Kay?"

"Menurut lo?" Tanyaku kesal. Dia tak menjawab pertanyaanku. "Sekarang mereka berdua sama-sama brengsek. Dan gue tau, lo juga gitu. Karena semua cowok sama aja."

"Kay, gue nggak ada niat buruk sama lo. Gue berani sumpah." Aku diam. "Lo mau kemana?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Nggak tau. Gue nggak mau pulang. Gue nggak mau ketemu Ian. Gue malu udah jujur sama dia." Ucapku. "Kenapa sih gue bodoh banget kasih tau ke dia kalau gue suka sama dia?" Lanjutku.

Ray tertawa kecil. "Lo nggak bodoh. Sejak kapan ada orang jujur dibilang bodoh? Lucu lo." Ucapnya. "Kita ke apartemen gue aja gimana?" Aku mengangguk. Aku punya keyakinan kalau Ray tidak akan macam-macam denganku.

Akhirnya kami sampai. Apartemen Ray bisa dibilang besar dan sangat rapi untuk seorang lelaki yang tinggal sendiri. "Ray, gue boleh pinjam baju lo nggak?" Tanyaku.

"Sebentar gue ambilin."

Selagi Ray mengambilkan baju untukku, mama menelepon ponselku. Awalnya aku tak berani mengangkatnya, tapi akhirnya aku angkat. Aku takut mama khawatir. "Halo, ma?"

"Kay? Kamu dimana? Ini udah malam kenapa belum pulang?" Tanya mama panik.

"Tenang aja ma. Aku lagi di rumah Emily. Besok aku sekolah bareng sama Emily. Aku capek ma, mau tidur." Ucapku.

"Ya udah. Besok kamu pulang sekolah langsung pulang ke rumah ya? Soalnya mama mau keluar kota seminggu. Di rumah nggak ada orang. Kamu bisa undang Davi kalau kamu takut." Lagi-lagi nama itu.

"Iya, ma. Dah." Akhirnya sambungan terputus.

Ray keluar membawakan aku bajunya. Ia memberiku piyamanya berwarna cokelat muda. "Kayaknya ini sedikit kegedean deh, Kay. Nggak apa-apa?" Aku menggeleng.

Setelah mengganti bajuku aku mendapatkan Ray sedang berbincang dengan seseorang ditelepon. Setelah melihatku dia mematikan telepon tersebut. "Gue nginep disini nggak apa-apa kan?" Tanyaku untuk memastikan.

Ray mengangguk. "Nggak apa-apa. Lo pasti butuh waktu, Kay. Gue nanti tidur disofa depan."

Akhirnya aku duduk diatas tempat tidurnya bersepraykan merah. Ray pun keluar. "Ray!" Panggilku. Dia menoleh ke arahku. "Lo mau temenin gue ngobrol sebentar?" Tanyaku.

Dia tersenyum dan mengangguk. "Gimana perasaan lo?"

"Seenggaknya mendingan." Ray mengangguk-anggukan kepalanya. "Ray, lo kenal Laura?"

"Laura?" Iya mengulang pertanyaanku. "Itu bukannya mantannya Adam?" Aku mengangkat kedua bahuku. "Kenapa emangnya?"

Aku menggeleng. "Cuma penasaran aja."

Aku mengobrol sambil menunggu kantuk datang. Tapi ternyata aku sama sekali tidak mengantuk. Mata Ray sudah memerah. Dia tak dapat menahan kantuknya jadi ia tertidur diranjangnya. Aku tak menyangka aku akan sedekat ini dengan orang yang baru saja aku kenal.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidur juga disebelahnya. Menjaga jarak kami dengan satu bantal. otakku masih memikirkan tentang kejujuranku pada Ian. Aku hanya takut jika bertemu dengannya besok.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang