day 1

1K 53 0
                                    

Fandra's POV

Aku duduk di bangku koridor sekolah. Aku memandangi terus ponselku menonton video di ponselku. Earphoneku hanya kupasang sebelah.

Ya, beginilah kegiatanku selama istirahat kelas berlangsung. Aku ingin mencari informasi baru. Namun apa daya ponselku tidak memiliki kuota internet.

"FANDRA!!!" suara teriakkan yang nyaring memekakan telingaku.

Aku yakin itu suara Vanya.

Dia sudah duduk di sampingku. Tubuhnya bergetar. Dia menggenggam bahuku erat.

"Fandra, kau harus tau-" Vanya memotong ucapannya sendiri.

"Lanjutkan." responku tak sabar.

"Sebentar aku tak bisa bernapas. Bantu aku bernapas." ucapnya mengibaskan tangan di wajahnya yang sedikit berkeringat.

"Baiklah. Tarik napas. Buang."

Vanya mengikuti instruksiku.

"Ok. Jadi," Vanya kembali memotong ucapannya.

"Mereka comback!!!"

"What? Siapa?" tanyaku antusias.

"Peka dikit bisa kali. Coba pikir."

Aku berpikir dan menatap layar ponselku kembali. Mata Vanya pun berada di ponselku.

Mataku melirik Vanya yang mengangguk.

Aku langsung berterika tidak jelas memeluk Vanya erat. Aku sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitarku.

"Ada konferensi pers besok pagi."

"Benarkah? Aku tidak bermimpi saat ini?" aku mencubit pipiku.

"Ini nyata, Fandra." Vanya mengguncang tubuhku.

"Tapi besok kita, kan, sekolah."

Inilah yang selalu benci. Timezone. Terkadang, aku merutuki nasibku. Kenapa aku harus tinggal di Indonesia dan bekebangsaan Indonesia? Letak Indonesia sangatlah jauh dari negara maju lainnya. Baiklah, jangan tiru aku.

"Kita bisa bikin reaction sepulang sekolah, bukan?" usul Vanya.

"Pikiranmu selalu mengenai tentang youtube."

"Subscribernya sudah banyak. Sayang jika kita abaikan begitu saja."

"Lagian, kan, tidak hanya kau yang mengedit videonya. Dave bisa membantu kita."

"Kakakmu itu? Aku benci bertemu dengannya." ucapku sedikit jengkel.

"Dia tampan bukan?"

"Terserah kau. Aku benci ketika aku datang ke rumahmu dia selalu menanyakan apapun mengenai sepupuku."

"Dia menyukai Sharen, Fandra."

"Terserah. Kembali ke topik utama."

"Baik. Besok sepulang sekolah di rumahmu. Karena kau yang punya kameranya."

"Ok."

Bel kelas selanjutnya berbunyi membuat perbincangan kami terhenti.

"Kita lanjutkan sepulang sekolah." kataku.

Vanya mengangguk dan mulai berjalan menuju kelasnya.

*****

Seperti biasa, sepulang sekolah, Vanya main ke rumahku untuk sekedar mengobrol atau belajar bersama.

"How excited am I for tomorrow." ujar Vanya saat melewati blok B.

Rumahku berada di blok F sedangkan rumah Vanya berada di blok E. Ya, hanya berbeda 1 blok.

"Me too. This is the final. Tidak sia-sia kita menunggu kurang lebih 2 tahun." ujarku.

"Iya. Aku tak percaya bahwa kita dapat menunggu selama itu."

"Tapi kan kita menggunakan pengalihan supaya tidak bosan menunggu mereka."

Vanya mengangguk.

Sesampainya di rumah, rumahku kosong. Itu artinya aku dan Vanya bebas. Tak ada yang harus mengamati apa yang kami lakukan.

"Tak ada ayah tirimu, kan?" tanya Vanya.

Aku mengangguk.

"Fandra, aku ingin softdrink, ok?" tanya Vanya sudah di depan lemari pendingin.

"Silahkan. Kau juga bisa mencari camilan di kabinet."

"Baiklah. Kali ini belajar di kamarmu saja, ya."

"Baiklah."

2 jam kami belajar. Tidak kami tidak belajar. Vanya dan aku memang mengerjakan beberapa soal, tapi hanya bertahan sekitar setengah jam. Vanya sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku sibuk dengan macbookku.

"Fandra, aku pulang dulu, Mom sudah mencariku."

"Baiklah. Hati-hati di jalan, Vanya!" seruku.

"Kau akan merindukanku."

"Tentu." ujarku.

"Bye my bitch."

"Bye slut."

"You're rude."

"Thank you."

"Ok, see you bitch!"

"Go away."

Aku hanya terkekeh mendengar ledekkan kami yang memang kasar. Tapi begitulah, kami tak pernah menganggapnya serius.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang