day 30

170 24 0
                                    

Aku terbangun pukul 3 pagi karena dering ponselku.

"Halo?" tanyaku sambil menguap.

"Pukul berapa di sana, sayang?" Paman Rezki rupanya.

"Pukul 4 pagi." tanyaku.

"Oh, sorry."

"It's ok. Ada apa, Paman?"

"Paman ingin membicarakan tentang beasiswa sekolah musik yang ibumu ceritakan."

"Jadi bagaimana?" aku duduk di tepi kasur.

"Kau yakin akan memilih sekolah musik? Aku tahu jika kau belajar musik sendiri. Untuk tinggal di sana, Paman mengizinkan karena kau memang sepertinya sudah siap tinggal sendirian di sana. Kau tidak ingin melanjutkan di bidang sastra atau ilmu sosial?"

Benar juga apa yang dikatakan Paman Rezki. Aku masih bisa melanjutkan karir musikku walaupun aku bukan dalam pendidikan musik. Dan aku bisa mendapatkan pekerjaan selain musik yang sudah menjadi bakatku.

"Benar juga."

"Paman dan ibumu akan mendukung apapun pilihanmu. Keputusan ada di tanganmu."

"Baiklah, terima kasih, Paman."

"Anytime. Kalau begitu maaf sudah menganggu tidurmu. See you."

"See you."

Aku tidak kembali tidur. Aku merapihkan tempat tidurku dan mengikat rambutku menjadi messy bun. Lalu mengangkat jemuranku yang sudah kutinggal semalaman.

Aku mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Aku berlari kecil menuju pintu rumah yang besar ini. Ini bukan ketukan. Melainkan gedoran pintu. Aku memutar kunci rumah dan membukanya.

Pintu dibanting dan terbuka lebar memunculkan Harry dengan rambut berantakannya. Aku baru ingat jika ia tidak pulang sejak kemarin siang. Aku menutup pintu dan kembali menguncinya.

Entahlah apa yang membuatnya mengamuk di ruang tengah. Semua bantal ia lemparkan. Bahkan meja yang terbuat dari kaca ia gulingkan hingga pecah.

"Harry! Stop!" teriakku.

Ia malah mendorongku dan telapak tangan kananku terasa amat perih. Darah. Tanganku terkena beberapa pecahan kaca.

Harry kembali memecahkan beberapa vas bunga. Suara pecahan itu membuat seisi rumah terbangun. Liam dan Louis langsung menahan Harry.

"Harry, what's wrong with you?" bentak Liam.

"He's drunk." ujar Louis.

"Fandra? You ok?" tanya Louis.

Aku menggeleng karena telapak tangan kananku makin mengeluarkan banyak darah. Sangat perih. Bahkan sangat sakit.

"Your hand..." ucapan Niall menggantung karena ia mengangkat tubuhku ke atas sofa.

"Wait a minute. I'll treat her." ujar Lisa kembali ke kamarnya.

Louis dan Liam membawa Harry ke kamarnya. Niall, Roni, dan Sierra menemaniku sampai Lisa kembali.

"It will a little bit painful. Sorry, if I hurt you." ujar Lisa mengeluarkan peralatannya.

Hey, dari mana peralatannya itu?

"Why you have all of this stuff?" tanya Niall kepada Lisa.

"My mom is a nurse." jawab Lisa.

Aku hanya menahan rasa sakitku saat Lisa melepaskan beberapa serpihan kaca yang berada di telapak tanganku. Ada 3 pecahan kaca yang ukurannya sekitar 1 cm.

Sierra mengambil air bersih untuk membersihkan lukaku. Lalu Lisa memberiku alkohol pada telapak tanganku.

"It'll be painful."

Aku hanya mengangguk. Tuhan, ini sangat perih. Air mataku menetes saat rasa perih itu makin terasa. Lisa melilit lukaku dengan perban.

"We have to take her to the hospital for more treatment." ujar Lisa.

Semua berkumpul di ruang tengah saat Harry sudah aman di kamarnya. Pecahan kaca sudah dibersihkan oleh Roni dan Sierra.

"Tell us what just happened." ujar Liam.

"I just woke up because my father was calling me. Then, I decided to take my dry clothes. But I heard someone knocked on the door. No, someone pounded on the door. I opened the door and I saw Harry. He made a mess with this room. I ordered him to stop, but he pushed me down. And I got this." kataku menunjukkan telapak tanganku.

"Is he always be like that if he was drunk?" tanya Roni.

"Not all the time. Just if he has problems. He never tell us his secret." jelas Liam.

"I'll beat him! He's excessive." seru Niall.

"He hurts the girl that I love." gumaman Niall masih dapat terdengar.

Everyone stared at him, except Liam and Louis. Aku bingung sendiri.

"You what?" tanya Roni dan Sierra serempak.

Niall diam.

"I didn't tell her." ujar Louis keluar dari ruang tengah.

Kami yang masih duduk, hanya menatap Nialk yang diam tertunduk.

"Nothing." ujar Niall menggaruk rambutnya yang kuyakini tidak gatal.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang