-5-

256 9 0
                                    

Kedua sudut bibir Liana tertarik kebelakang, sehingga terbentuk sebuah senyuman, manakala dilihatnya Renata menurunkan kaca jendela Freed putihnya, kemudian melambaikan tangan. Langkah kakinya penuh semangat mendekati Renata.

"Seneng bisa liat kamu baikan, Ren."

Agak berhati-hati ketika Renata menunkan kakinya menapaki tanah. Luka ditelapak kaki kirinya belum sepenuhnya pulih, meskipun semua benangnya telah dicabut. Liana membantunya berdiri.

"Aku beneran minta maaf, Li. Ga bisa datang dipesta kalian," ujarnya sembari membuka pintu belakang mobilnya. Mengeluarkan sebuah paper bag  merah muda yang berhias pita senada.

"Kalo saja bukan Tara sendiri yang ngantar kamu ke rumah sakit, aku pasti akan sangat marah," ia menerima paper bag, yang disodorkan Renata. Kado pernikahan untuknya.

"Sumpah ya, aku ga tau lagi kalo waktu itu ga ada Tara. Mungkin aku bakal terkapar sendirian dikamar sampe Stanley datang."

Sedikit tertatih, Renata melangkah menuju teras rumah Liana. Sementara Liana sendiri harus mengimbangi langkah Renata sambil memapahnya.

Tara melihat pemandangan itu dari depan pintu. Perempuan yang dulu pernah dicintainya, dan perempuan yang telah menjadi istrinya.

Mematahkan pendapat, bahwa seorang mantan tidak bisa jadi teman. Nyatanya, mereka berdua begitu akrab. Seperti sebelumnya.

"Mau aku gendong sampe kesini, Ren?", kelakarnya diiringi tawa ringan.

"Tidak didepan Liana," diliriknya Liana sambil menjulurkan lidah.

"Kalo niat selingkuh ga usah didepanku!", Liana menyambut candaan itu dengan pura-pura marah.

Renata memang pernah pacaran dengan Tara. Meskipun hanya 4 bulan. Penyebab putusnya juga bukan karena tak cinta, melainkan perbedaan keyakinan. Uniknya, Tara dan Liana jadian berkat campur tangan Renata. Itu yang membuat mereka bertiga tetap menjalin keakraban. Namun ironisnya, keakraban itu justru membuat Stanley sedikit cemburu pada Tara. Seolah ada tembok tinggi yang sengaja dia bangun untuk menciptakan penghalang keakraban diantara mereka. Untungnya, kecemburuannya pada Tara tidak lantas membuat dia melarang Renata untuk tetap berteman.

"Ini kenapa banyak kardus-kardus besar?", hal itu terlontar ketika matanya menatap tumpukan kardus yang sepertinya siap untuk dipaketkan.

"Kami belum cerita ya?! Hehehe....maaf!", Tara menarik sebuah kursi rotan yang sudah beralaskan busa agar Renata bisa segera duduk, begitu perempuan berkaki jenjang itu sampai diteras.

"Kami akan pindah," Liana mengawali cerita. "Ke Jakarta. Tara dapat tawaran kerja yang bagus disana. Itu alasan kenapa pernikahan kami dipercepat."

"Main-main ke tempat kami ya, Ren! Ajak Stanley juga. Jangan cuma nyari duit aja," lanjut Tara.

Renata hanya bisa tersenyum kecut, mendengar berita kepindahan kedua teman baiknya itu. Sebelum obrolan kembali berlanjut.

Setidaknya, dia perlu berbasa-basi pada sahabatnya,  tak bisa menghadiri hari penting dihidup keduanya. Stanley menolak untuk datang sendiri, sementara Renata jelas tak mungkin datang dengan kaki pincang.

💖💖💖💖💖

Diluar dugaan jika tiba-tiba muncul Jessie dan Sandra, sahabat-sahabat Renata sejak jaman kuliah. Bisa dipastikan kehebohan yang tercipta bila keempat perempuan itu berkumpul. Sebab itu, mereka memindahkan acara 'talk show' , begitu biasa mereka menyebutnya, ke sebuah kedai kopi yang dulu sering mereka jadikan tempat ngumpul.

Dari mulai masuk mobil, didalam mobil, sampai ditempat berkumpul, hampir tak ada hal yang tak mereka tertawakan. Mengingatkan pada masa kuliah, meskipun mereka bukan dari fakultas yang sama.

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang