-15-

239 10 0
                                    

Sedikit pengap udara dikamarnya yang dulu. Renata jarang sekali pulang. Terakhir dia datang, sekitar 5 bulan yang lalu. Itu juga hanya sebentar. Bagusnya penyejuk udara masih bisa berfungsi dengan baik, jadi dia tak terlalu tersiksa dengan kepengapan.

Semua masih sama seperti ketika dia tinggalkan 2 tahun yang lalu. Hanya perlu mengganti seprei yang sedikit berdebu, maka sudah bisa dia tiduri. Kangen rasanya tidur dikamar yang menjadi saksi sejarah hidupnya. Dari dia kecil, remaja, dewasa sampai menikah, lalu pindah. Kangen rasanya dimarahi papa ketika dia memasang musik keras-keras padahal itu adalah hobinya. Kangen rasanya dengan pijatan mama tiap kali dia mengeluh lelah dengan kegiatan sekolah.

Sama seperti Stanley, Renata juga anak tunggal. Dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Tak ada kenakalan-kenakalan besar yang dia lakukan. Sebab dia bukan tipe pembetontak, malah lebih dibilang penurut.

Sayangnya, kehangatan keluarga harus terenggut ketika papanya meninggal. Waktu itu dia baru saja menginjak bangku kuliah. Kesedihan yang cukup dalam, mengingat dia sangat menyayangi papanya.

2 bangunan tempat kost, masing-masing terdiri dari 9 kamar dan 15 kamar, ditinggalkan papanya sebagai warisan. Secara keuangan, dia dan mamanya tak mengalami kesulitan.

Pacaran, putus, pacaran lagi, putus lagi, itu sudah biasa dihidupnya. Tak pernah dia merasa sedih ketika harus putus, atau terlalu girang ketika jadian. Namun perasaan itu berubah sejak dia mengenal Stanley. Lelaki itu berhasil menggeser posisi Tara.

Stanley Praditya, tak hanya berhasil mencuri perhatian Renata, tapi juga mamanya. Belum pernah mama Renata begitu menyukai pacar anaknya, seperti dia menyukai Stanley. Bahkan mama Renata lah yang begitu menginginkan agar mereka cepat menikah. Namun sayang, sebelum pernikahan itu terjadi, mama Renata harus menyusul suaminya.

Bisa dibayangkan bagaimana terpukulnya Renata harus kehilangan kedua orang tua, saat dia masih sendiri. Benar-benar sendiri, karena dia memang anak tunggal.

"Ma, pa,....Re pulang," bulir bening meleleh turun saat dia menatap foto keluarga yang ada dimeja belajarnya. "Re kangen,..." dia katupkan kedua bibirnya, menahan agar lelehan bening tak lagi turun.

Sejak panggilan 'Re' disematkan Stanley padanya, dia jadi suka menyebut dirinya dengan suku kata pertama pada namanya.

Usahanya sia-sia. Airmatanya makin deras. Kakinya gemetar, seolah tak ada kekuatan untuk berpijak. Tangannya sempat meraih foto keluarganya yang terbingkai kayu warna biru, sebelum dia terduduk ditepian ranjang. Dadanya makin sesak karena tangis yang makin menjadi.

"Mama,....Re kangen! Re kangen mama, Re kangen papa!.... Ajak Re ma, pa! Re udah ga sanggup hidup!.... Re pikir pernikahan Re dengan Stanley, akan membawa kebahagiaan, ternyata, Re justru terjerumus dalam neraka. Re lebih bahagia saat sama mama dan papa.... Bawa Re pergi, ma, pa!" diciumnya foto itu berkali-kali, kemudian berakhir dalam pelukannya.

"Re salah apa, ma? Dari kecil, Re ga pernah durhaka sama mama papa. Tapi kenapa nasib Re kayak gini?! Apa yang Re impikan, tak sesuai dengan kenyataan. Stanley jahat, ma! Dia ga sebaik yang mama pikir..... Dulu, tak pernah sekali pun dia ngelirik cewek lain. Dimatanya, juga dihatinya cuma ada Re Karna itu Re percaya dan mau menikah dengannya, seperti apa yang mama minta. Tapi nyatanya, dia justru mendua saat kita sudah nikah....... Re ga sanggup, ma!" Ada kelegaan yang dirasakan. Seakan dia telah berbagi luka dengan mamanya.

"Re udah berusaha bertahan, sampe Re pergi ke dukun, tapi nyatanya, Stanley ga juga nyerein perempuan itu. Apa Re mesti nyerah, ma, pa?..... Sakit, ma,....sakit banget!.... Tiap hari, Re harus pura-pura bahagia. Padahal Re sangat tersiksa. Re ga akan pernah sudi berbagi!"

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang