-22-

286 13 16
                                    

Jenuh karena hanya tiduran di kamar, membuat Renata begitu ingin menikmati udara teras.

Meski sedikit lemas, dia berusaha untuk bisa bangun dan berjalan keluar kamar. Bisa jadi, setengah dari cheese cake yang dimakannya  tadi, berhasil mendatangkan energi.  

Niat untuk turun sekedar keluar rumah dia urungkan ketika samar telinganya menangkap obrolan suaminya dengan seseorang lewat telfon, dari ruangan kerjanya. Maka melangkahlah dia menuju kamar sebelah.  

Dari tembok di samping pintu, dia bisa mendengar dengan jelas omongan Stanley, meskipun tidak dengan lawan bicaranya.  

"Ya kan mama bisa kesini sebentar."  

Kuat dugaan bahwa suaminya sedang berbicara dengan mertuanya.  

"Aku tau, tapi kan Re lagi sakit, ma. Masa sih mama ga bisa basa-basi nengokin dia sebentar aja? Kemaren pas dia masuk rumah sakit, mama juga ga sempat nengok kan?! Padahal mama sendiri tau kalo Re ama Cinta di rumah sakit yang sama."  

"........"  

"Mama, aku ga bisa ninggalin Re saat dia lagi kayak gini. Kalo emang mama mau ngajak Malvin Malva jalan-jalan, kan bisa ama mamih nya."  

"........"  

"Aku bukan ga sayang mereka, ma. Aku juga perhatikan mereka. Kalo pun aku ga datang, aku pasti nelpon mamihnya, buat nanya anak-anak. Mama ngerti posisi aku dong."  

"........"  

"Iya, 2 minggu kemaren aku banyak kerjaan, dan Cinta lagi nyari masalah gitu ama Re, jadi aku mesti nenangin Re gitu."  

"........"  

"Mama ini apa-apaan sih? Re ga mandul, ma. Kenapa sih mama cepet banget menyimpulkan? Lagian, pernikahan kami baru hampir 3 tahun. Banyak juga kan orang yang udah 5 tahun nikah, baru dapat anak."  

Ini menyakitkan. Renata bisa menyimpulkan bahwa mertuanya sudah menerima Cinta sebagai menantu keduanya. Mereka juga begitu senang karena sudah mempunyai cucu. Harga dirinya sebagai perempuan dan menantu di keluarga Stanley, sudah hancur.  
Dia tak sanggup menguping pembicaraan Stanley. Dia juga tak besemangat lagi untuk pergi ke teras. Rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya. Agar sedikit berkurang beban di hatinya.  

💖💖💖💖💖

"Re, bangun! Obatnya diminum dulu ya," jemarinya membelai lembut kepala Renata.  

Wajah itu, senyum itu, jemari itu, sungguh Renata akan begitu merindukannya. Perasaan itu yang dia rasakan ketika membuka mata.  

Dia berusaha bangun, dan dengan cepat, Stanley membantunya.  

"Mau kemana?" tanyanya ketika Renata justru menurunkan kedua kakinya kelantai.  

"Ke kamar mandi."  

Masih dibantu Stanley dia berdiri.  
Kedua mata Stanley menatap pada noda darah di seprei, bekas ditiduri Renata. Kemudian dia beralih pada bagian belakang tubuh istrinya yang tengah berjalan pelan menuju kamar mandi. Terdapat pula noda yang sama.  

"Re, kamu lupa pake pembalut ya?"  

Langkahnya terhenti karena pertanyaan itu. Dia langsung menoleh ke bagian belakang tubuhnya, sedikit kaget ketika melihat darah di sana, juga di atas seprei. "Aku ga tau kalo aku lagi 'dapat'," sambil kembali berjalan.  
Stanley bergegas menarik seprei dengan noda darah itu dari kasur. Dia tahu noda darah susah sekali hilang. Dia tak mau istrinya yang sedang sakit, mesti repot-repot merendam seprei kotor.  

Ada yang menarik pandangannya ketika dia mengangkat kasur pegas yang begitu tebal itu, saat hendak memasang seprei yang baru. Benda persegi terbungkus kain putih dengan jahitan tangan yang kurang rapi, berada di bawah tempat tidur.  

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang