-30-

501 15 1
                                    

Kesunyian lorong panjang sebuah rumah sakit ternama, terpecahkan oleh derap sepatu yang beradu dengan lantai keramik abu-abu. Tubuh tinggi tegap itu berhasil menciptakan gema, serta membuat banyak pasang mata terperanjah penuh tanya, walau tak pernah terucapkan.

Sebelumnya, Stanley, si pembuat kegaduhan itu, harus memacu HRV-nya sedikit brutal dijalan, yang tak ayal membuat serapah bertebaran. Namun tetap tak dia pedulikan.

Bukan tanpa sebab jika dia berbuat itu semua. Telfon dari budhe lah pemicunya. Mengabarkan Renata telah terjatuh diteras depan dan sampai mengharuskan perempuan itu dilarikan ke rumah sakit.

Budhe tidak bercerita lebih spesifik apa penyebab jatuhnya, dan kenapa mesti di bawa kerumah sakit, serta apa yang terjadi dengan calon bayinya. Tapi kata 'jatuh' dan 'rumah sakit' sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mempersiapkan mental akan skenario terburuk yang bakal dia dapati.

Pagi tadi dia pamit kerja dan akan pergi keluar kota, melihat lokasi vila di Taman Dayu, memenuhi ajakan klien. Baru juga 30 menit sampai, kemudian ponselnya berdering, lalu terdengarlah kabar buruk itu.

Sangat terpaksa meeting dia batalkan, lalu kembali.

"Stanley!"

Seruan itu sekaligus menghentikan langkah kakinya. Nafas yang memburu serta tetesan peluh, timbul dari efek berlari. Mulutnya terbuka lebar serta cuping hidung yang makin membesar, menggambarkan betapa perlunya dia akan asupan oksigen.

Kaki kokohnya bergerak maju, namun tidak terburu. Mendekati perempuan tua yang tengah berdiri menyambutnya. Matanya langsung berkaca-kaca begitu dia menangkap gurat kesedihan pada wajah renta dihadapannya.

"Kamu yang sabar ya!"

Seiring dengan ucapan lirih itu, meneteslah butiran bening dari kedua matanya.

Yap! Mereka kehilangan calon bayinya.

Tidak. Dia tidak ingin Renata melihatnya dengan mata sembab. Itu akan makin menyakiti perasaan perempuan tercintanya. Rasa bersalah pasti dia jadikan beban berat. Karena dari awal, dia lah yang sangat ingin bisa hamil, sekedar membuktikan bahwa dia perempuan normal. Bahwa alasan Stanley berselingkuh itu bukan hanya karena dirinya mandul!

"Renata ga berhenti nangis setelah tau dia keguguran. Berteriak histeris sambil minta pulang, ga mau menerima perawatan dokter. Dia juga melempari semua perawat dengan apapun yang ada dimeja sebelahnya."

Merasa tak perlu berkomentar, Stanley mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi penuturan budhe, disela irama nafas yang mulai normal, tetesan airmata yang juga tak kunjung reda. Dia bisa membayangkan kengerian istrinya ketika histeris.

"Entah apa yang dilakukan dokter, yang jelas, dia tidak sadar setelah disuntik.... Sekarang dia masih tidur. Ga tau gimana ntar kalo bangun?" Bibirnya yang penuh kerutan, sedikit bergetar ketika bercerita.

Lagi-lagi Stanley tak berkomentar. Hanya menelan ludahnya yang terasa kelu.

Kepalanya menengadah dan satu tarikan nafas panjang disusul hembusan kuat-kuat, Stanley bicara, "saya liat Re dulu, budhe. Abis ini saya antar budhe pulang."

"Budhe pulang naik angkot aja. Ga pa-pa. Udah biasa kok. Kamu ga perlu cemasin budhe," tawaran Stanley ditolaknya secara halus.

"Kalo gitu naik taksi aja," saat tangannya hendak mengeluarkan dompet yang dia simpan disaku belakang celana, budhe cepat-cepat menahannya.

"Stanley,....budhe ga pa-pa naik angkot. InsyaAllah akan sampe dirumah dengan selamat. Kamu jagain istrimu aja ya! Jangan cemasin budhe!" Sekali lagi, diyakinkannya Stanley.

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang