-2-

353 9 0
                                    

"Aarrrgghhh.....aaarrrggghh....." erangannya begitu nyaring. Menahan perih diperutnya. Tangan kanannya meremas kuat pada seprei, sementara yang kiri meremas ujung kaosnya. Memutar tubuhnya kekanan, kemudian kekiri. Begitu berulang-ulang. Kedua kakinya pun mengesek-gesek permukaan seprei, hingga tak rapi lagi.

"Ya Tuhan....sakit sekali! Aaarrrgghh....."

Sudah hampir satu jam dia terkondisi seperti itu. Maagnya kambuh, dan selalu teramat nyeri. Sebenarnya, sejak pulang dari mengantar Deva, dia sudah merasa ada yang tak beres dengan perutnya.

Sekali lagi, dia mencoba menghubungi Stanley, melalui ponsel yang dia letakan disamping kiri kepalanya, namun tetap terhubung dengan mailbox.

"Stanley.....kamu dimana??", dia berbicara sendiri dan hampir putus asa. Meletakan kembali ponselnya dengan kasar, disisi kiri kepalanya.

"Aaarrrggghh....."

Apa yang bisa dilakukannya selain mengerang diantara tangisannya? Renata memang punya maag akut, tapi intensitas kambuhnya sudah tak sesering dulu. Yang terjadi kali ini tidak seperti biasa. Rasa sakit itu seolah berlipat dari sebelum-sebelumnya.

Belum putus asa dia mencoba menghubungi Stanley. Hasilnya pun belum berubah. Terhubung dengan mailbox!

Renata hampir kehabisan tenaga karena lelah menahan sakit. Rasa nyeri masih datang dan pergi dengan jeda waktu tak seberapa lama. Tangisnya pun berlahan mereda.

"Stanley.....kamu dimana?", tuturnya terdengar makin lemah.

Disaat itulah, telinganya masih bisa menangkap suara bel pintu yang berbunyi beberapa kali.

"Stanley!", pekiknya lirih, sambil mencoba tersenyum diantara perih.

Bel pagar kembali berbunyi.

Sisa tenaga yang dia punya terkumpul sudah. Susah payah, dia bisa bangkit dari ranjang.

Namun sial. Ketika kakinya menapaki lantai, dia menginjak pecahan gelas yang tadi sempat dia jatuhkan secara tak sengaja.

"Aakkhh..."

Darah mengucur dari telapak kaki kiri. Tak banyak memang, tapi cukup membuatnya ngeri.

Bel berbunyi lagi.

Abaikan luka ditelapak kakinya, Renata berjalan tertatih keluar kamar. Tiap tapak kaki kirinya meninggalkan jejak darah.

Akhirnya perjuangannya berhasil menghantarnya sampai pintu depan. Dari tempatnya berdiri, dia masih bisa jelas melihat kalau yang datang bukan Stanley. Dia mengenali laki-laki yang tengah berdiri didepan pagar itu. Laki-laki yang membunyikan bel berkali-kali, yang sempat dia sangka kalau itu Stanley.

Dari balik jeruji pagar, laki-laki itu tersenyum melihat Renata membuka pintu rumah. Tangan kanannya memegang sebuah amplop besar berwarna emas. Undangan pernikahannya.

"Tara....", hanya itu yang sempat terucap, sebelum dia roboh, tepat didepan pintu. Bukan karena kecewa sebab yang datang orang yang salah, namun karena siksa sakit  dan tak tertahankan lagi.

Senyum diwajah Tara seketika berubah. "Renata!!!" pekiknya nyaring. Kaget dan panik pasti. Dia datang berharap dapat sambutan ramah dari tuan rumah, tapi yang dia dapat justru kejutan sebaliknya.

Tara mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa disekitar sana. Lingkungan perumahan yang lumayan berada, menjadikan tiap penghuni kurang berinteraksi dengan tetangga. Nyatanya, baru jam 7 tapi sudah sepi seperti tak ada manusia.

Tanpa menunda lagi, dia mulai berusaha memanjat pagar setinggi dua setengah meter itu. Dia harus menaiki kap mobilnya terlebih dulu untuk selanjutnya merayap keatas. Begitu sampai diujung, dia melewatinya, lalu turun perlahan, yang kemudian dia lanjutkan dalam sekali loncat setelah sampai ditengah.

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang