London, UK.
Madison Dawson's POV
Bosan.
Guru matematika ku, Mr. Tunner sedang menjelaskan cara mencari hipotenusa dalam trigonometri. Materi yang begitu membosankan bagiku. Apa pentingnya menghitung ukuran panjang dari setiap sisi segitiga.
Aku sangat tidak menyukai matematika, terlebih lagi pada Mr. Tunner. Ia adalah sosok guru yang sangat menyebalkan dan membosankan. Aku hampir tidak pernah memperhatikan pelajaran nya, bukan hanya karena aku tidak menyukai matematika dan dirinya, melainkan aku selalu saja terfokus pada hal lain.
By the way, aku Madison Dawson. Aku bersekolah di Fork High School di London.
Mungkin bersekolah di London adalah mimpi indah bagi banyak orang. Berada di kota yang begitu populer, berada di sekitar orang-orang berkulit putih, dan jika beruntung dapat melihat Sang Raja dan Ratu, tetapi tidak bagiku. Kalian tahu, banyak orang beranggapan masuk SMA di London bagai tahap awal dari kebahagiaan, asal mereka tahu saja semuanya tidak seindah yang mereka kira.Ya, begitulah pikirku saat beberapa bulan pertama masuk Fork High School ini, tetapi seketika aku sependapat dengan mereka semenjak pertama kali aku melihat dirinya.
Adam Bailey. Pria bertubuh tinggi dengan darah campuran Amerika-Jerman itu begitu menyita perhatianku. Beberapa kali aku tertangkap basah sedang menatapnya. Ia duduk tak jauh dariku.
"Entahlah Mad, dia tidak setampan yang kau bilang," kata Ava sambil memainkan mimik wajahnya.
"Ya, bahkan mantanmu, Jake, terlihat lebih baik darinya," timpal Emily.
"Selera kalian memang payah," jawabku sambil terus memakan makan siangku.
Sejauh ini Ava dan Emily adalah dua sahabat terbaikku. Mereka selalu mau mendengarkan cerita-ceritaku, aku bisa bercerita apa saja kepada mereka seperti, laki-laki, makanan, fashion, Mr. Tunner, dan lain sebagainya.
Sambil menikmati makan siangku, sesekali aku melirik kearah Adam walaupun aku tak berniat untuk melihatnya, terasa seperti reaksi spontan bagiku ketika dia berada di sekitarku.
***
"Mungkin tosca akan terlihat lebih bagus," jawab Emily sambil mengimbangi langkahku dan Ava yang cepat karena tergesa-gesa untuk pulang.
"Ya, kurasa."
"Aku tidak suka tosca, Em."
Ava sedang meminta pendapatku dan Emily mengenai warna cat yang akan digunakannya untuk melapisi dinding kamarnya.
"Madison!" teriak seseorang dari ujung koridor. Aku membalikkan tubuh dan melihat Adam berlari kecil kearahku.
"Bisa kau bantu aku mengerjakan tugas Biologi?" tanyanya sambil mengangkat kedua alisnya.
"Mm, kurasa bisa."
"Oh, oke, bagus," ia mengucapkan nya kata-perkata.
"Bagaimana kalau malam ini? Di rumahku?" tanyanya lagi.
"Malam ini ya? Hmm," sambil mengingat-ingat apakah aku ada acara malam ini.
"Ya. Aku bisa. Malam ini, di rumah mu. Jam 8?"
"Jam 8. Oke, aku tunggu di rumahku," jawabnya sambil berjalan meninggalkan kami. Tak lama kemudian ia membalikkan badannya lagi.
"Laters, Mad," ia tersenyum setelah mengatakan dua kata sederhana itu, kemudian benar-benar meninggalkan kami.
Rasanya seperti pertama kali jatuh cinta, melihatnya tersenyum saja membuat hatiku berbunga-bunga. Aku dapat merasakan kedua pipiku mulai memerah. Dan sekarang kedua sahabatku sedang menatapku dengan tatapan penuh arti, sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Can Hurt
Teen FictionKetika Madison akhirnya merasakan jatuh cinta lagi setelah sekian lama, dia begitu mencintai kekasihnya, Adam Bailey. Namun segalanya berubah seketika saat Madison mengetahui kebusukan Adam selama Adam tinggal di Newcastle. Hatinya semakin hancur ke...