Situasi taman hari ini lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena libur musim panas akan segera berakhir jadi warga lokal yang pergi ke luar kota telah kembali ke rumahnya dan menghabiskan waktu di tempat hiburan di sekitar rumah mereka.
Aku dan Matthew duduk di sebuah kursi panjang yang ada di taman seraya memperhatikan anak-anak yang sedang bermain sepatu roda dan beberapa pasangan remaja lain yang sedang bermesraan. Kami hanya membicarakan hal-hal yang bisa dikatakan tidak penting. Tapi itu bukan masalah, yang terpenting adalah kami dapat menikmati waktu bersama tanpa menyentuh ponsel. Ponsel adalah salah satu masalah ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman kita bukan?
"Mad, ayo kita bersepeda."
Spontan aku menoleh pada Matthew. "Kita bahkan tidak membawa sepeda, Matt."
Matthew menunjuk ke suatu arah dengan dagunya. "Kita tidak perlu membawa." Sahutnya.
Ia menunjuk tempat penyewaan sepeda di dekat taman. "Mm, bagaimana ya Matt," aku masih mempertimbangkan keputusan yang akan kuambil. Matthew bangkit dari tempatnya kemudian secara mengejutkan langsung menarik tanganku tanpa aba-aba sehingga membuatku terkejut, aku mengimbangi langkah dengannya karena ia masih menggenggam tanganku sambil terus berjalan.
Matthew menghampiri seorang pria yang berada di dalam loket untuk mengatur menyewaan dan membayar biaya penyewaan. "Kau mau mengendarai sepeda juga Mad? Atau biar aku saja?"
"Um, kau saja."
Matthew menganggukkan kepalanya kemudian kembali bicara pada pria di dalam loket tersebut, sesaat kemudian Matthew berjalan kearahku sambil memegang sebuah kartu di tangannya. "Kita dapat sepeda nomer 19." Ia berjalan melewatiku untuk mencari sepeda yang dimaksud. Aku mengikutinya dari belakang.
"Kenapa tidak nomer 7?" Tanyaku. Sebenarnya ini sungguh tidak penting.
"Sepeda nomer 1 sampai 12 adalah sepeda dengan kursi tunggal. Kalau ingin berdua nomer sepedanya dari 13 sampai 20. Kalau ingin bertiga dari 21 sampai 25," paparnya yang kemudian diikuti langkah mendekati salah satu sepeda dengan nomer 19 di dekat stangnya.
"Kalau ingin berempat atau berlima?" tanyaku.
Matthew menatapku, "Naik mobil wisata saja."
Aku terdiam, benar juga. Terkadang aku menjadi begitu bodoh.
Matthew mengeluarkan sepeda yang kami sewa dari barisan sepeda kemudian ia menaikinya. Ia berputar-putar sebentar di trotoar hingga kembali lagi padaku, "Ayo naik, Mad."
Aku mendekati sepeda berwarna tosca tersebut kemudian duduk di jok bagian belakang. "Pegangan!" Perintah Matthew.
"Jangan coba-coba un-" ucapanku terpotong ketika Matthew mempercepat laju sepeda membuatku spontan memeluk tubuhnya yang sedikit condong ke depan.
"Matt jangan ngebut! Kita tidak akan menikmati perjalanan," kataku sedikit berteriak.
"Baiklah."
Laju sepeda berangsur menurun dan sekarang keecepatannya sudah normal. Kami berkeliling taman dengan bersepeda santai. Aku melepaskan pelukanku dari Matthew kemudian membenarkan posisi dudukku.
"Apa aku harus melaju dengan cepat dulu agar kaumemelukku?" Matthew mengatakan nya dengan sedikit intonasi bercanda.
Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.
"Kau tidak berniat untuk memelukku lagi, Mad?"
"Tidak."
"Bagaimana kalau kau yang mengendarai sepeda kemudian aku yang duduk di jok belakang agar aku bisa memelukmu sepanjang perjalanan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Can Hurt
Teen FictionKetika Madison akhirnya merasakan jatuh cinta lagi setelah sekian lama, dia begitu mencintai kekasihnya, Adam Bailey. Namun segalanya berubah seketika saat Madison mengetahui kebusukan Adam selama Adam tinggal di Newcastle. Hatinya semakin hancur ke...