Part 6 : Siksaan yang menyenangkan

347 11 0
                                    

Ya kejadian yang mengejutkan terjadi, ketika kita masuk dengan hebohnya. Saking hebohnya, Yoga sampai terpeleset di tangga masuk. Tertawa Milda langsung pecah, diikuti dengan tertawa teman-teman lainnya. Yoga yang malang hanya bisa mengusap-usap bokongnya yang kesakitan.

Seakan permohonan maaf tapi lebih tepatnya meledek, Milda merangkul Yoga dan berkata "sabar ya Ga, untung baru ada kita doang. Jadi gak ada yang liat lo kok, kecuali kita".

"Mil, kurang asem lo!! tunggu pembalasan gue nanti!!" dengan tangan kanan mengepal sekan memberi isyarat yang menakutkan kepada Milda, dan tangan kirinya masih mengusap-usap bokongnya.

Sementara itu aku memilih tempat duduk di bagian dekat jalan, dan Justin duduk disampingku. 10 menit berlalu, ruang teater sudah penuh. Entah mengapa jika aku menonton film horror, mau itu di rumah, di bioskop atau dimanapun, aku selalu duduk tegap, pandangan mata lurus ke layar, dan melihat dengan fokus, sefokus-fokusnya. Aku sama sekali tidak bisa diganggu kalau sedang menonton genre favoritku itu. Jadi maaf saja kalau aku nonton bersama teman, pasti temanku itu selalu aku kacangin alias aku abaikan. Tapi beda ceritanya dengan yang sekarang ini. Aku nonton bersama dia, Justin, tepat disamping kananku. Ya tuhan rasanya ingin teriak.. Mata ini selalu melirik ke arahnya, aku sama sekali tidak fokus dengan film ini. Padahal film ini film yang paling aku tunggu-tunggu penanyangannya. Banyak sekali disturbing scene* (re: blood and slash) pada film ini. Tapi apa mau dikata? Aku sama sekali tidak fokus.

Ketika tangan kananku yang aku taruh disanggahan tangan, tiba-tiba tangan kiri Justin menghampiri tangan kananku secara perlahan. Ya tuhan jantung ini berdebar dengan cepatnya. Kasihan jantungku harus bekerja lebih giat lagi kalau ada momen-momen seperti ini. Pasti muka ini sudah bersemu merah seperti cabai, strawberry, tomat, atau apalah yang berwarna merah. Apa memang semua cewek merasakan hal yang sama denganku kalau dihadapkan situasi seperti ini? Atau cuma aku saja yang kege'eran?

Dan ternyata yang sebenarnya terjadi adalah Justin hanya ingin mengambil minumannya yang berada tepat di depan tangan kananku bersandar. Ya... sudah jelas mukaku kembali ke mode idiot. Untung saja dia tidak tau gelagatku yang mengharapkan hal romantis terjadi. Aku melihat teman-temanku semua serentak menutup matanya, terutama Milda. Dia beda dengan teman-teman yang lain, karena dia memasukkan kepalanya ke dalam tas ransel nya. Rasanya ingin tertawa melihatnya seperti itu, tapi aku tahan tertawaku ini.

Momen seperti inilah yang menurutku paling berharga. mungkin sekitar 5 semester lagi, kita akan dipisahkan oleh toga. Bahagia sekaligus sedih mungkin. Kesedihan yang paling aku rasakan adalah aku tidak bisa lagi bertemu dengan Justin. Apalagi aku belum sempat mengungkapkan perasaanku kepada dia. Kalau memang selama 5 semester masih belum sempat, entah kebodohan apa yang hinggap didalam diriku sehingga 5 semester masih belum sempat juga untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tentunya kebodohan itu akan menjadi penyesalan yang besar, yang tidak termaafkan, karena mungkin saja aku dan dia selamanya akan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Peluang untuk bertemu pun sangat kecil.

"aku tidak bisa membayangkan bila kejadian itu benar terjadi" pikirku.

Tak terasa 2 jam berlalu. Pikiranku masih terbayang-bayang soal yang aku lamunkan tadi. Tepukkan tangan Justin di punggungku membangunkanku "Jess.. kok lo lesu gitu? Padahal lo yang ngajakin gue nonton dengan rayuan maut lo". Aku baru bisa tertawa karenanya.

Kali ini aku menolak untuk diantar pulang oleh Justin. Aku sama sekali tidak tau kalau 7 hari yang akan datang, kuliah kita libur, karena semua kelas dipakai oleh jurusan lain untuk UAS atau Ujian Akhir Semester. Jadi 7 hari berikutnya adalah giliran jurusanku untuk menjalani ujian tersebut. Aku sudah berjanji pada orang tuaku untuk belajar lebih giat lagi. Pada hari ke tiga, Justin mengajakku untuk belajar bareng, tapi aku menolaknya dengan alasan orang tuaku tidak mengijinkan aku untuk keluar. Sebenarnya itu bukan alasan orang tuaku, melainkan aku sendiri. Sekarang aku sudah tau faktor terbesar yang membuatku tidak fokus adalah dia, Justin.

Pada hari pertama UAS jurusanku, aku berangkat lebih pagi lagi. Sesampainya di kelas, aku langsung membaca lagi mata kuliah yang akan diujikan. Setelah beberapa lama teman-teman lain datang, termasuk Justin. Kita hanya mengobrol sebentar. Seminggu dijalani seperti itu. Entah mengapa aku seperti menghindari dia. Lantas dengan alasan apa? Sampai saat ini aku masih tidak mengetahuinya. Akhirnya UAS pun usai, Milda dan Yoga bersorak gembira.

Kalau UAS usai berarti kita sudah memasuki liburan selama 3 bulan. Andra dan teman-teman lain ingin mengajak liburan bareng ke Dufan. Gisca, Milda, dan Vero menyetujuinya. Kalau mereka ikut, sudah pasti aku juga ikut. Justin masih ragu-ragu apakah akan ikut atau tidak, karena dia harus pulang ke Bali, ke tempat orang tuanya. Maklum dia adalah mahasiswa rantauan. Dia tinggal disini hanya dengan Pamannya saja. Aku jadi kurang bersemangat kalau Justin sampai tidak ikut liburan dengan kita. Mungkinkah Justin akan ikut?

Tiba-tiba Justin berkata "3 hari lagi gue kabarin deh soal gue ikut apa gak liburan sama kalian, okay?!". Teman-teman pun menyetujuinya.

"Jess, abis ini lo ada acara gak?" tanya Justin.

"gak ada kok. Emangnya kenapa?" jawabku sambil memperhatikan raut mukanya yang serius.

"kita ke Starbucks yuk! Tapi berdua aja".

"berdua? Lo sama gue?"

"bukan, gue sama Yoga. Sama lo lah Jess.. kan gue ngajakinnya sama lo".

Pikiranku seketika melayang. Lagi-lagi berdua? Untung saja ujian sudah berakhir. Kalau masih suasana ujian, bisa-bisa semua soal aku jawab dengan nama dia. Ketika sampai di Starbucks, dia memesan dua Chocorilla frappuccino ukuran ventie. Aku duduk duluan di dekat kaca. Setelah pesanan didapat, Justin menghampiriku dan mempersilakanku untuk minum. Aku merasa canggung sekali, tingkahnya beda dari yang biasanya. Biasanya kan dia selalu tak bisa diam, tebar humor sana-sini, kege'eran, dan genit, kali ini beda banget.

"Jess.. ada sesuatu yang mau gue bicarain sama lo" tanya Justin dengan serius.

"lo mau bicarain apa? perasaan dikampus juga bisa deh" jawabku dengan santai, tapi sebenarnya panik, hanya saja aku memanipulasi suara dan tingkahku. Macam seorang psychopath yang pandai memanipulasi, tapi aku bukan psychopath. Serius!.

"Jess, apa yang lo rasain kalo dekat gue?" tanya Justin.

Pertanyaan macam apa itu? Seperti pertanyaan menjebak. Kalau aku jawab biasa aja, pasti dia langsung minta pulang. Kalau aku jawab senang, nanti seakan-akan aku yang kepedean. Mungkin aku harus pilih bagian kedua, tak mungkin aku pilih yang pertama karena bisa-bisa Justin tidak mau menjadi temanku lagi.

"mmm ya.. seneng sih. Nyaman aja kalo sama lo. Emangnya kenapa sih? Kok lo nanyanya gitu?" aku bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi, sampai-sampai aku mencubit pahaku sendiri. "

"Jadi apa sih maksud dari pertanyaan itu? Jangan-jangan dia mau nembak aku? ah gak mungkin! Tapi kalo beneran gimana?" dengan segera pikiran-pikiran vulgar itu aku tepis.

Next Chapter :)

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang