Part 22 : Lebih perih dari menginjak pecahan kaca

201 11 0
                                    

Setelah mengetahui kebenarannya bahwa Justin dan Tina telah berpacaran tanpa sepengetahuanku sebelumnya, aku langsung masuk kamar, lalu mengunci pintu kamarku. Menangis sepuas dan selepas yang aku bisa. Mengapa ini terjadi di saat aku menyadari perasaan yang sesungguhnya. Aku membanting bingkai potoku bersama Justin saat kita sedang di Yogyakarta dulu. Tak ada lagi harapan, memang tak ada harapan.

Kring... Kring.. alarmku berbunyi. 

"Wah aku ketiduran.." 

Aku ingin bangun dari tempat tidur, tapi kamar ini terasa berguncang. Apa ada gempa? Tapi kepalaku sakit sekali. 

Saat kaki ku menyentuh lantai "Aww.. sakit!!" 

ternyata aku menginjak pecahan kaca dari bingkai poto yang aku banting semalam. 

Telapak kakiku mengeluarkan banyak darah. Mamah yang tadinya ingin membangunkanku, malah terkejut bukan main melihat telapak kakiku yang sudah bersimbah darah. 

"Sayang, ada apa dengan kaki kamu? Ya ampun.." 

mamah panik bukan main. Ia langsung mengambil kotak obat yang berada di meja yang berada di sudut kamarku. Ia mengobati telapak kaki ku dan membalutnya dengan perban. 

"Sayang, kamu juga kelihatan pucat." 

Mamah memegang dahiku dan ternyata aku demam tinggi. Akhirnya aku tak diperbolehkan masuk kuliah untuk hari ini. Mamah memanggil dokter ke rumahku dan benar saja, dokter pun menyarankanku untuk beristirahat.


Tak peduli lagi dengan letak smartphoneku yang entah dimana. Terdiam menatap kearah jendela. Memancarkan satu cahaya yang merasuk ke dalam kamarku. Aku gerakan jariku ke arah datangnya cahaya. Terasa hangat sampai menembus ke dalam kulit jariku. Tiba-tiba terlintas ingatan tentang hari kemarin, dimana aku baru mengetahui Justin dan Tina sudah jadian. Sesak yang tak tertahankan. Kini yang terdengar hanya isak tangis. Siapa? Siapa yang menangis? Tanyaku sendiri. Begitu kesalnya aku bahkan membenamkan kepalaku ke bantal. Aku tekan begitu dalam agar suara tangisanku tak terdengar olehku sendiri. 

5 jam berlalu, yang aku lakukan hanya berbaring menatap langit-langit rumah, membaca novel, tidur. Aku tidak bisa pergi kemana-mana karena setiap aku berusaha untuk berdiri, telapak kakiku terasa amat menyakitkan, seperti ada ratusan jarum yang menusuk telapak kakiku. Disaat itu juga terdengar suara mamah sedang berbicara dengan seseorang. Suaranya seperti seseorang yang ku kenal. Pintu kamar dibuka oleh mamah dan diikuti oleh.. Justin. 

"Jess.. lo kenapa?" tanya Justin. 

Aku sama sekali tak menjawab pertanyaannya. Dengan melihat tingkah kita berdua, mamah menangkap isyarat untuk keluar dari kamar dan mempersilakan Justin untuk masuk. Aku pun terdiam membisu, memang sengaja aku mengunci mulutku untuk tidak berkata apa-apa. Tapi dengan sikapku yang seperti itu, Justin malah terus menatapku dengan tajam.

Setelah beberapa menit keheningan menyelimuti kita berdua, ditambah suasana awkward yang terasa jelas, maka aku menyerah dan membuka mulutku. 

"Ada apa lo kesini?" tanyaku dengan ketus. 

"Kok lo nanyanya gitu? Gue cemas sama lo. Tadi lo gak masuk kuliah, makanya gue telpon lo, tapi gak lo angkat. Abis itu gue telpon nyokap lo, katanya lo lagi sakit, gue pun langsung kesini." 

"Oh gitu.. yaudah lo udah liat keadaan gue kan? Lo bisa pulang sekarang kok. Gue perlu istirahat." 

Justin yang terhentak dengan jawabanku yang kurang mengenakkan. Dengan sangat terpaksa aku berbaring dan menutupi sekujur tubuhku dengan selimut dan membelakangi dia. Akhirnya ia memilih pergi dan memberikan bingkisan yang berisi susu strawberry kesukaanku. Ia pergi tanpa sepatah kata pun. Aku yang merasa tak pantas lagi berada di sisi Justin, bukan sebaliknya. Mengapa aku bisa dekat dengan Justin kalau akhirnya seperti ini. Kenapa aku memiliki perasaan ini kepada Justin kalau akhirnya perasaan itu tak tersampaikan.

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang