Part 27 : Perasaan yang sama-sama tak terbalas

186 8 0
                                    

Mungkin benar dengan sebagian pendapat orang bahwa tak semua hari itu memihak kepada kita. Hari kemarin boleh kita tertawa hingga sakit perut, tapi hari esok mungkin saja kita akan menangis meraung-raung. Kenyataannya aku tidak mau merasakan terlau bahagia, karena aku tak mau merasakan yang namanya terlalu sedih. 

Hari ini diawali dengan cuaca yang mendung membawa sekumpulan awan hitam bernaung di atas gedung fakultasku. Titik demi titik air hujan jatuh menghantam tanah. Membawa semerbak bau petrichor menyerbu ke seluruh ruangan. Entah kenapa aku sekali dengan bau ini, karena bau ini bisa membuat pikiranku menjadi tenang. 


Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Justin masuk kelas 2 menit sebelum dosen datang, dan saat mata kuliah berakhir, 2 menit kemudian dia keluar kelas. Namun sebelum dia keluar kelas dengan terburu-buru, ia bilang padaku bahwa ia akan mendiskusikan acara tahunan yang akan di gelar oleh fakultasku, dan nyatanya dia kembali sibuk dengan organisasi dan juga pacarnya.

Di pihak lain, Vero dan Gisca harus cepat-cepat pulang kuliah karena mereka lagi-lagi ada urusan penting. Karena tak tau harus kemana lagi, aku, Milda, dan Andra memutuskan untuk pergi ke mall yang berada dekat dengan kampus kita. Disana banyak sekali café berjejeran menghadap satu sama lain. Entah itu dekat foodcourt ataupun dekat restoran. Namun kita memilih untuk bersantai di suatu café yang tak cukup ramai, agar kita puas untuk bercengkerama lebih lama. 

Sementara Milda memesankan pesananku dan Andra, Andra bercerita soal kuliahnya di Singapura. Dia mulai berbicara serius mengenai seorang mahasiswi yang ia kenal disana. Dia memiliki kulit seputih susu, matanya berwarna cokelat, rambutnya berwarna hitam legam, tingginya sekitar 165 cm. Andra bilang kalau dia mirip sekali denganku, mulai dari penampilannya, wajahnya, sampai tingkahnya. 


Namanya Alice, ia mahasiswi student exchange juga, yang berasal dari Thailand. Dia dekat dengan Andra karena kebetulan dia satu jurusan dan berada di satu gedung apartment di lantai yang sama. Dia suka warna biru sama sepertiku. Ia juga suka hal-hal yang berbau jepang. Cewek itu sempat sharing kepada Andra kalau sebenarnya ia lebih ingin student exchange ke Jepang, tapi ia malah terpilih ke Singapura. Karena kesempatan seperti itu tidak mungkin datang dua kali, ia tetap mencoba untuk belajar di Singapura. 

"Wah trus menurut lo cantikan dia atau Jessy?" tanya Milda datang membawa pesanan kita. 

"Ya.. cantikan Jessy sih." Ia memalingkan matanya. 

"Gombal banget lo dra!" Aku melempar tisu ke arahnya. 

Andra hanya merespon dengan tertawa. Suara tertawaannya semakin lama, semakin keras. 

"Dra, gak usah kegirangan kayak gitu deh. Gue tau lo lagi seneng banget, karena setelah sekian lama tidak melihat wajah Jessy nan ayu ini.." 

Gaya berbicara Milda pun jadi mendayu-dayu seperti seseorang yang sedang membacakan puisi. 

Seketika itu pula wajah Andra bersemu merah. 

"Apa sih lo, Mil!" Andra menjitak kepala Milda. 

Akhirnya mereka pun bertingkah seperti anak SD yang sedang berebut permen. Seiring mereka yang sedang lempar-lemparan tissue, pesanan pun datang ke meja kita. 


"Mmm Jess, gue mau nanya nih." 

Perkataan Andra berubah menjadi serius, seserius raut mukanya sekarang. 

"Nanya apa Dra? Kalau mau nanya, nanya aja," jawabku santai. 

"Justin jadian sama yang namanya Tina ya?" 

Aku yang sedang menyeruput segelas iced macchiato langsung tersedak, dan batuk pun tak terhindarkan. 

"Jess, lo gak apa-apa kan?!" 

Andra yang panik langsung meminta segelas air mineral ke barista yang sedang menyemprotkan cream di suatu gelas pesanan orang lain. 

Andra mengulurkan tangannya yang sedang menggenggam segelas air mineral. 

"Nih Jess, minum dulu." 

Dua kali tegukan sudah membuatku lega. 

"Thanks Dra." 

Andra hanya merespon sebuah senyuman manis kepadaku. Namun matanya seperti sedang mencari-cari sebuah jawaban dari mataku. Sesekali aku memalingkan pandanganku, tapi pemberhentian mata ini masih saja ada pada matanya.


3 menit kita hanya saling bertatapan tanpa adanya satu atau dua patah kata yang terucap, seakan tak tau apa yang harus diucapkan dari mulut kita masing-masing. Milda yang menangkap sinyal-sinyal aneh di antara kita berdua, langsung membuka suara untuk pamit pulang. 

"Guys, sorry nih gue mesti pulang sekarang, karena gue mau pergi lagi nanti." 

"Lah ini mocha lo masih banyak, Mil," kataku heran melihatnya langsung beranjak dari bangku yang ia duduki.

"Gak apa-apa Jess, gue minta bungkus aja mocha nya." 

Milda langsung mengambil gelasnya yang masih penuh itu kepada seorang barista yang tadi mengambilkan air mineral untuk Andra. 

"Bungkus? Dikira kita lagi di warteg kali ya?! Hahaha." 

Suara tertawa Andra langsung memecahkan kecanggungan ini. 

"Hahaha parah lo Dra. Gue bilangin Milda, nanti lo kena cakar dia lagi loh!" 

Aku pun jadi ikut tertawa bersamanya. 


Setelah aku pikir-pikir mungkin aku tak harus menghindari pertanyaan Andra tadi, malah seharusnya aku bisa menjawabnya dengan biasa aja, ya anggap aja belajar menggunakan pedang untuk menghadapi musuh tanpa adanya tameng. 

"Iya Dra. Justin dan Tina udah jadian pas lo lagi di Singapura," jawabku sambil meremas tasku sendiri yang ada di pangkuanku. 

Tiba-tiba tangan anda menggenggam salah satu tanganku yang sedang menggenggam gelas. 

"Maaf gue gak ada buat lo, saat lo lagi butuh pundak untuk bersandar, Jess." 

Perkataan Andra lantas membuatku terdiam tak bergeming.

 "Apa Andra tau perasaanku yang sebenarnya kepada Justin ya?" Pertanyaan itu langsung muncul di otakku. 


"Jadi lo tau kalau.." 

belum sempat melanjutkan perkataanku, Andra langsung berkata, 

"Iya, dari dulu gue udah tau kok hati lo itu buat siapa, tapi maaf karena gue pura-pura gak tau. Gue gak mau nyerah gitu aja Jess. Gue mau selalu ada di samping lo, apalagi saat lo terpuruk kayak gini. Gue gak berharap lo bales perasaan gue, karena ada di samping lo, denger cerita lo, main sam lo, itu semua udah buat gue seneng." 

Penjelasan panjang Andra membuat mataku terbelalak. Diamnya tubuh ini, tak sejalan dengan jantung ini. Sungguh aku tak tau harus bagaimana sekarang, yang aku bisa lakukan hanya terus menatapnya. 

Seakan-akan ia sedang memayungiku yang sedang memayungi Justin, padahal Justin dan Tina sudah berpayungan bersama, dan yang didapatkan Andra dari pengorbanannya adalah kehujanan. Aku terus-menerus melihat punggung Justin, kini Justin semakin lama semakin jauh karena di gandeng oleh Tina untuk menjauhiku. 

"Jess, lo masih punya gue." 

Ucapan Andra yang singkat itu seperti menyuruhku untuk berbalik badan. Melihat Andra yang kehujanan dan kedinginan, seperti sedang menggenggam segelas iced macchiato-ku ini.


Next Part 27

*Terima kasih yang masih setia membaca cerita ini

*Update sebenarnya setiap dua minggu sekali di hari Jumat, tapi kadang suka ngaret karena masalah jaringan atau emang aku nya yang lagi males berkutat dengan cerita hehe maaf.

*Jangan lupa kritik, saran, dan vote nya.. okay^^

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang