Part 23 : How can I move on?

222 9 0
                                    


Tak ku sangka selama seminggu ini yang aku lakukan hanya di rumah terus. Aku tidak bisa pergi ke kampus, karena keadaan kakiku yang belum membaik. Begitu kesalnya aku hanya bisa melakukan video call untuk tetap bisa bertatap muka dengan Milda, Vero, dan Gisca. Beberapa hari yang lalu, Justin menelponku kembali, tapi tentu saja aku tak angkat telpon itu. Namun aku tidak bisa mengingkari bahwa aku sangat merindukannya. Aku suka sekali dengan susu strawberry yang ia berikan kepadaku saat ia menjengukku. 

Tok.. tok.. tok.. suara ketukan pintu membangunkanku dari lamunan. 

"Sayang mamah masuk ya?" 

"Iya mah masuk aja." Aku menutup cover novel Alice in Wonderland yang menandakan untuk menyudahi. 

"Ada apa mah?" Aku menyandarkan diri ke bantal. 

"Gimana sama kaki kamu?" tanya mamah. 

"Sebenernya udah bisa buat jalan kok mah, tapi masih sedikit sakit sih. Mmm besok aku boleh masuk ya mah!" Aku memohon dengan memegang tangan mamah. 

Tadinya mamah hanya diam, tapi akhirnya mamah mengangguk pelan. Aku pun tersenyum lebar, lalu memeluk mamah dengan erat. 

"Terima kasih ya mah!"


Keesokan harinya sebelum aku berangkat ke kampus, aku mengganti perban telapak kakiku terlebih dahulu. Papah yang baru pulang setelah ada project dari luar negeri langsung menawariku untuk diantar sampai ke kampus. Aku tidak berani menolak karena konsekuensinya pasti aku tak akan boleh kuliah hari ini. Aku berjalan dari parkiran kampus dengan sedikit terpincang-pincang. Aku malu sekali karena banyak orang yang melihatku dengan tatapan kasihan mereka. 

Saat sampai di depan pintu gerbang fakultas, aku mencoba berpengangan dengan gagang pintu, namun ada tangan yang terlebih dahulu menggapai tanganku. Aku pun menoleh dan ternyata itu Justin. 

"Biar gue bantu ya." Dia memegang erat tanganku, lalu menuntunku naik tangga. 

Aku begitu kaget akan kehadirannya sampai-sampai aku tidak bisa berkata-kata. Yang aku lakukan saat ini adalah dengan mengikuti arahannya. 

"Okay, kita udah sampe." Ia membukakan pintu kelas untukku, lalu menuntunku kembali sampai di bangku kelas.

"Thanks ya." Aku hanya bisa berucap dua kata itu. 

Justin pun membalas dengan senyuman. Suasana yang terasa canggung ini menyesakkan bagiku. Aku tau ini bukan kali pertama kita bersikap seperti ini, namun ini lebih parah dari sebelumnya. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya dalam seminggu ini, aku ingin sekali mengobrol panjang lebar dengannya, tak peduli seberapa anehnya obrolan itu, yang aku inginkan adalah bisa mengobrol dengannya kembali. 

Dengan menahan rasa sakit dan air mata ini membuatku tertunduk. Sengaja aku jejalkan earphone ke dalam dua lubang telingaku. Sudah asyik-asyik lagu Babymetal - Gimme Chocolate terputar supaya aku tak mendayu-dayu, eh tiba-tiba tertekan shuffle pada music player-ku, dan lagu itu pun digantikan oleh The Script - The Man Who Can't Be Moved. Disaat itu juga aku hanya bisa melihat kedua tanganku yang sengaja aku kepalkan diatas meja. Aku sama sekali tak berani untuk menoleh ke arahnya, aku sama sekali tak berani memandangnya lagi. Terdengar suara decitan disampingku, dan ternyata Justin berdiri dari bangkunya. 

"Gue keluar dulu ya Jess." Ia pun langsung berjalan ke arah luar kelas dengan cepatnya.


Disaat itu pula aku baru berani meneteskan air mataku, bagaikan bendungan yang pecah, air mata itu terus berjatuhan. Aku benci harus seperti ini, aku sama sekali tak tahan dengan situasi ini. Mungkin tinggal beberapa semester lagi yang mesti aku lewati, tapi satu hari yang aku lalui terasa sangat panjang karena aku dan dia berada di kelas yang sama. 

Tiap detik aku melihatnya yang sedang memainkan pulpennya, menyilangkan kakinya, memperhatikan dosen, bahkan saat dia melamun. Apapun yang dia lakukan aku selalu bisa memperhatikan dia tanpa sepengetahuannya. 

"Apa yang harus aku lakukan ya tuhan?" 

aku masih terus menangis dan membenamkan mukaku di atas meja. Semua kenangan bersama Justin berkumpul dan menyatu di dalam kepalaku. Apakah sesusah ini untuk melupakan seseorang yang aku suka sekaligus seseorang yang tidak bisa aku miliki?

Aku pun mendengar derap langkah kaki yang masuk ke arah kelas ini. 

"Jess, lo kenapa?" ternyata itu Milda dan Gisca. 

"Mil, Gis, gue gak bisa.." 

Aku kembali menangis, air mata kembali menghujam pipiku, lalu turun ke arah leherku sampai-sampai membasahi kerah bajuku. 

"Jessy.." Mereka berdua memelukku dengan erat. 

"Sssst.. kalo lo masih belum kuat buat ngeliat dia, mending kita keluar dari sini yuk. Nanti gue sama Milda yang bakal minta izin ke dosen wali kalo lo masih sakit." 

Mereka berdua membangunkanku dari bangku. Milda yang membawakan tas dan jaketku, sementara Gisca yang menuntunku untuk keluar kelas. 

"Loh kalian mau kemana?" Justin muncul dibalik pintu. 

Kita semua tak ada yang memberi jawaban, namun aku tau dia sudah tau jawaban sebenarnya setelah melihat mataku yang masih menggenangkan air mata.


Aku dibawa mereka ke kantin, tepatnya di pojok kantin supaya tak banyak yang melihat kalau aku sedang menangis. Kali ini aku hanya bisa menangis di pundak Gisca. Aku sama sekali tak bisa menghentikan tangisanku yang sudah pecah dari tadi. 

"Lo puas-puasin deh hari ini nangis. Tapi inget besok lo gak boleh pasang muka sedih lo di depan kita!" perintah Vero yang tiba-tiba datang menghampiri kita. 

"Ve, lo apa-apaan sih?!" respon Gisca. 

"Gis, perkataan Vero itu bener. Jessy gak boleh selamanya kayak gini. Nangis terus-menerus gak akan bisa merubah keadaan. You have to face it, Je!" tambah Milda. 

Walaupun aku sedang menangis, aku juga mencerna perkataan Vero dan Milda. Perkataan mereka berdua memang ada benarnya. Aku tak mau dibilang cewek cengeng dan manja. Aku memang harus menghadapi kenyataan.

"Iya Ve, Mil, gue tau maksud lo berdua. Gue emang harus tegar. Emangnya siapa mereka? Berani-beraninya ngebuat seorang Jessy Canatya Fizzi jadi nangis gak karuan gini!!" Aku pun langsung menyeka air mataku dengan tissue yang dibawa oleh Gisca. 

"Nah gitu dong, itu baru sahabat kita!" Gisca memelukku. 

"Gak perlu waktu seharian kan, Ve?" Aku menyindir pernyataan Vero tadi. 

Vero hanya membalas dengan memelukku. Aku, Vero, Milda, dan Gisca memutuskan untuk kembali ke kelas.

Tak terasa ternyata kita telah membolos satu mata kuliah Translation. Saat kita memasuki kelas, mata Justin langsung tertuju padaku. Aku pun langsung memalingkan pandanganku dan mencari bangku-bangku kosong yang masih tersisa. Kita buru-buru masuk kelas dan duduk di bangku paling belakang. Mata kuliah selanjutnya adalah Filsafat, setelah itu kuliah berakhir hari ini. Gisca, Milda, dan Vero meminta izinku untuk main ke rumahku. Aku pun mengiyakan keinginan mereka. 

"Gue ikut ya, Jess!" suara itu keluar dari mulut Justin. 

Aku tak tau kalau dari tadi dia mendengar percakapan kita. 

"Ikut? Emangnya lo gak ada rapat kayak biasanya?" tanya Vero sarkas. 

"Gak ada kok. Boleh ya?" dia melihat tepat ke arah mataku tanda meminta persetujuan. 

"Fiuh you have to calm down, Jess! But how can I move on, If  I still want him to be my bestfriend?" lagi-lagi batinku mengalami konflik. 

"Iya boleh kok, Justin," jawabku sambil tersenyum kaku. 

Biasanya aku selalu berada di mobilnya Justin kalau kita sedang pergi bareng, tapi beda dengan kali ini aku menumpang di mobilnya Gisca untuk sampai ke rumahku.


Next Part 24

*Terima kasih masih membaca part ini. Nantikan next part 24 tgl 11 November ya

*Kalau ada kritik dan saran bisa langsung komen, vote juga boleh. Terima kasih lagi..

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang