Part 29 : Keadaan takkan berubah

202 8 0
                                    

Hari boleh saja berganti, tapi aku masih berada di tempat yang sama, dan dalam keadaan yang sama. Stuck di tempat tidur ini selama 7 hari. Tidak bisa beranjak sendiri kesana-kemari. Jangan kan untung beranjak dari tempat tidur, untuk mengangkat tangan dan kaki kananku pun susah dan sakitnya bukan main. 

Hari ini sudah diawali dengan rintikkan hujan. Matahari sama sekali tidak diizinkan untuk hadir. Rasa hangat yang aku rasakan hanya bersumber dari selimut berwarna biru, dan memiliki pola bunga dandelion kecil di setiap pinggirannya. Selimut itulah yang dibawa mamah dari rumah, karena mamah tau itu adalah selimut kesayanganku. Hari ini tak begitu terasa sepi, karena seperti biasa teman-temanku datang lagi. 

"HAI JESS...?????" sapa mereka dengan nada tinggi luar biasa. 

Suster yang sedang mengantarkan dan menyiapkan makanan untuk makan siangku langsung memarahi mereka. 

"Maaf, tolong jangan berisik ya! Disini banyak orang sakit!" ucap suster itu dengan nada ketus. 

"Maaf ya sus.." yang berani buka suara hanya Gisca. 

Seiring suster itu keluar dari kamarku, mereka bertiga langsung membuang nafas. 

"Jess, kita bawa susu kesukaan lo nih! Sengaja kita bawa banyak." 

Vero memberikan satu paket yang berisi 10 kotak susu strawberry siap minum di atas pangkuanku. 

"Thanks ya girls.." 

Aku memberikan senyuman terbaikku untuk mereka bertiga. 

"Btw mana Tante Mega?" Tanya Milda sambil melirik ke arah jendela. 

"Mamah lagi makan siang di kantin, Mil." 

Mendengar jawabanku, Milda langsung mengusap-usap perutnya. 

"Kenapa lo, Mil?" Tanya Gisca heran. 

"Denger Tante Mega lagi makan, gue jadi laper nih!" 

"Ya ampun Mil sadaaaar! Tadi lo udah makan siomay dua porsi!" 

Vero menaruh telapak tangannya di jidat Milda. Kita semua langsung tertawa melihat tingkah Milda. 


Handphone ku tiba-tiba bergetar, aku raih dan mendapati pesan dari mamah. Ia bilang, ia akan pulang ke rumah dulu, karena ada barang penting yang tertinggal di rumah. Aku pun membalas kepada mamah untuk tidak usah khawatir karena Gisca, Vero, dan Milda sedang menemaniku sekarang. Saat aku menekan tombol send, suara gagang pintu terdengar click. Ada seseorang masuk membawa sebuket bunga lily dan satu keranjang yang berisi macam-macam buah. 

"Justin?" ucapku pelan. 

"Jess.." dia menghampiriku dengan gerak kaki cepat. Aku melihat matanya sudah berkaca-kaca seperti sedang menahan air mata yang sedang membendung disana. Tanpa di duga, ia memelukku dengan erat. Seketika itu pula mataku terbuka lebar, aku melihat Milda, Gisca, dan Vero sama-sama memasang raut wajah tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini. 

"Jess, gue kangen sama lo, gue kangen sama suara lo, gue kangen lo yang selalu marahin gue. Lo gak tau kan betapa sakitnya gue, saat gue liat lo terkapar bersimbah darah dan lo jg gak tau betapa sakitnya gue, saat gue liat lo terbaring lemah dengan selang ada dimana-mana." 

Penjelasan Justin tersebut sudah cukup membuat air mataku mengalir deras turun ke pipi hingga membasahi kemeja di bagian pundaknya. 

"Kenapa Justin?! Kenapa lo lakuin semua itu?! Apa lo gak tau hal-hal kecil kayak gitu aja udah buat gue seneng, udah buat gue bahagia?! Kenapa Justin?! Kenapa lo memilih orang lain karena jelas-jelas gue ada disini menatap dan menunggu lo dari kejauhan.

Derasnya air mata mengiringi lukaku yang semakin terbuka. Aku tidak bisa membuka mulutku untuk mengatakan semua itu. Aku hanya bisa mengatakannya dalam hati. Aku hanya berharap ia bisa menyadarinya walau hanya sedikit. Menyadari kata-kata itu, menyadari perasaanku. 

Disini dengan tubuhku penuh luka dan lebam, itu tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan rasa sakit ketika melihatnya bersama perempuan lain. Membelakangiku, memegang erat tangan, bercanda, bahkan bermesraan dihadapanku. Kesadaranku sudah hilang, saat ini yang aku inginkan hanyalah memeluknya erat, tanpa memikirkan apa-apa, karena aku tau hanya ini, moment yang tersisa untuk kita berdua.


Perlahan-lahan Justin melepaskan pelukannya dariku. Menatapku dengan tatapannya yang lekat. Matanya melunak ketika melihatku tersenyum. Jari-jarinya menyentuh pipiku dengan lembut. Dingin tapi menyejukkan, mungkin tadi di luar dia terkena basahan hujan, karena kemeja kotak-kotak berwarna hitam merah yang ia kenakan kini sedikit terasa dingin dan basah saat ia memelukku tadi. 

Namun sentuhannya itulah seperti petir membangunkanku di tidur panjangku. Aku langsung membuang muka untuk menjauhi jarinya menyentuh pipiku lagi. Aku sudah sadar, aku bukan siapa-siapa untuknya. Dihatinya masih terpasang nama Tina seorang, dan hanya Tina lah yang bisa membuka ruang yang ada dihatinya saat ini. Aku? Aku hanyalah tamu, tamu yang tak diundang, bahkan tak diperbolehkan masuk olehnya.

"Syukurlah lo udah sadar Jess. Sorry banget kemarin gue gak bisa datang soalnya Tina jatuh sakit." 

Justin menaruh buket bunga dan keranjang buah itu di atas meja. 

"Tina sakit apa?" Tanyaku dengan suara pelan. 

"Sakit demam, Jess." 

"Ya ampun Justin, demam? Gue kira apa. Jessy ini baru bangun dari koma loh?! Lo kira itu setara dengan sakit demam?!" Vero menaikkan nada suaranya. 

"Tapi, Ve. Bukan itu maksud gue, Tina kan sendirian disini. Kalau Jessy kan.." 

belum sempat menyelesaikan perkataannya, Gisca memotong perkataan Justin dengan nada luar biasa tinggi. 

"Jadi menurut lo Jessy itu gak penting? Apa karena Jessy punya banyak teman dan punya keluarga lengkap, jadi dia gak butuh lo gitu?! Apa lo gak tau kalau Jessy tuh udah nyiapin kursi tersendiri buat lo?! Apa lo selama ini gak pernah sadar. Kebaikan dan semangat yang dia kasih ke lo itu tulus?! Apa lo juga gak tau kalau selama ini Jessy tuh.." 

"Udah stop Gis.. please!! Percuma lo ngasih tau segalanya, karena itu gak akan merubah keadaan yang saat ini udah terjadi. So please stop it now!!

Aku menangis terisak-isak dengan mengucapkan itu semua. Aku hanya bisa menutupi mukaku dengan selimut kesayanganku ini. Tidak bisa melihat apa-apa di balik selimut ini, aku hanya bisa mendengar suara pintu tertutup. Aku tidak tau sama sekali siapa yang keluar dari ruangan ini. Dengan menangis seperti ini, badanku ikut gemetar. 

"Jess, udah Jess.. please jangan nangis lagi." Ucap Milda tanpa aku lihat, aku sudah tau itu suaranya. 

"Jess.." Gisca membuka selimutku. 

Disana keberadaan Justin sudah lenyap tak meninggalkan jejak. Gisca langsung memelukku erat dan mengelus-elus rambutku untuk menenangkanku. 

"Jess, maafin gue.. gue udah gak sanggup lagi nutupin itu semua dengan keadaan lo yang kayak gini. Ya gue tau itu gak akan merubah keadaan secara tiba-tiba, tapi setidaknya Justin menyadari bahwa lo lah yang pantas buat dia." 

Kali ini aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku benamkan kepalaku dipundak Gisca. Semuanya bisa saja terungkap hari ini, tapi tetap saja tak akan pernah ada yang berubah. Di dalam pikiranku, Justin akan tetap bersama Tina.


Next Part 30

*Terima kasih banget bagi kalian yang masih baca cerita ini

*jangan lupa kasih aku kritik dan saran agar cerita ini bisa lebih baik lagi. Vote nya juga boleh hehe

*tunggu dua minggu lagi yaa..

Losing You is Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang